Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh

http://blogoftusmknegeri3tegal.blogspot.co.id/ -

Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh
Segera Ing-ing berkata pula, “Akan kubangunkan Gi-ho dan Gi-jing berdua Suci, hendaknya kau suruh mereka
pulang dulu ke Hing-san, kita diam-diam mengawal perjalanan siausumoaymu habis itu baru pulang ke Hingsan.”
Sesudah bangun, semula Gi-ho dan Gi-jing rada khawatir melihat keadaan Lenghou Tiong masih belum sehat,
namun melihat tekadnya sudah bulat buat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak omong lagi,
mereka menyediakan sebungkus obat luka, lalu mengantar keberangkatan mereka berdua.
Ing-ing membedakan arah dengan baik, lalu melarikan keretanya ke jurusan barat laut, ia tahu jalan ke Hoasan
itu hanya sebuah jalan besar, rasanya takkan kesasar. Kereta itu ditarik empat ekor keledai yang kuat,
perjalanan cukup cepat di tengah malam sunyi hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai dan
berkeriang-keriutnya roda kereta.
Alangkah rasa terima kasih hati Lenghou Tiong, demi diriku, segala apa pun dia mau melakukannya. Sudah
jelas dia mengetahui aku mengkhawatirkan Siausumoay, segera dia mengajak aku berangkat mengawalnya.
Wahai Lenghou Tiong betapa beruntung dan bahagianya kau mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini.
Demikian pikirnya.
Ing-ing melarikan kereta keledai itu dengan cepat. Berapa li kemudian laju kereta itu menjadi lambat lagi.
“Kukira cara yang paling baik untuk melindungi sumoaymu bila terancam bahaya supaya tidak diketahui
olehnya biarlah kita menyamar saja,” kata Ing-ing.
“Benar, boleh engkau menyaru sebagai si berewok lagi, Ing-ing.”
“Tidak, penyamaranku itu tentu sudah diketahui sumoaymu ketika di Hong-sian-tay tempo hari,” sahut Ing-ing.
“Habis cara bagaimana kita harus menyamar?” tanya Lenghou Tiong.
“Kau tunggu sebentar,” kata Ing-ing. Habis itu ia terus melompat turun dari kereta dan berlari menuju sebuah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
rumah petani di depan sana. Dengan enteng ia melintasi pagar rumah itu, menyusul terdengar suara anjing
menggonggong, tapi hanya sekali saja lantas bungkam. Agaknya binatang itu telah kena dilumpuhkan oleh Inging.
Tidak lama kemudian Ing-ing telah lari kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia lompat ke atas
kereta dan tertawa terbahak-bahak setelah menaruh bungkusan itu di sisinya.
Lenghou Tiong coba memeriksa pakaian itu, benarlah memang pakaian petani tua, lebih-lebih pakaian mak tani
yang sangat longgar itu tampaknya sudah jauh ketinggalan zaman, selain pakaian Ing-ing mencolong pula topi
buat kaum laki-laki serta ikat kepala buat kaum wanita, ada pula sebuah honcoe (cangklong dengan gagang
panjang).
Segera Ing-ing mengambil pakaian mak tani itu dan dipakai sendiri di atas pakaian semula, ikat kepala
dipasang pula di atas kepala, lalu kedua tangannya menggosok-gosok sedikit tanah dan kemudian diusapkan di
muka sendiri, habis itu barulah ia bantu Lenghou Tiong menyamar.
Berdiri berhadapan, jarak mereka berdua hanya belasan senti saja, napas Ing-ing terasa mengembus perlahan,
hati Lenghou Tiong menjadi syur dan setengah mabuk, sungguh ia ingin peluk si nona dan menciumnya. Tapi
segera teringat olehnya akan pribadi Ing-ing yang sangat prihatin itu, sedikit pun tidak pernah bertingkah atau
bicara hal-hal yang tidak pantas, kalau sampai membuatnya marah, sungguh akibatnya sukar dibayangkan.
Karena itu ia berusaha mengekang perasaan sebisanya.
Kilasan sinar mata Lenghou Tiong yang aneh itu ternyata diketahui juga oleh Ing-ing, dengan tersenyum ia
mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, “Cucu yang baik, beginilah baru Nenek mau
sayang padamu!”
Lenghou Tiong pejamkan mata sekalian dan merasa tangan si nona yang halus itu mengusap kian-kemari di
mukanya, alangkah syur rasanya nikmat sekali, sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap tanpa
berhenti.
Selang sejenak, berkatalah Ing-ing, “Sudahlah, pada malam gelap begini tentu sumoaymu takkan
mengenalimu asalkan kau tidak buka suara.”
Habis itu mendadak ia tertawa pula terpingkal-pingkal.
Semula Lenghou Tiong bingung tapi kemudian ia pun bertanya, “Adakah kau lihat sesuatu yang lucu di rumah
petani itu?”
“Bukan melihat sesuatu yang lucu,” jawab Ing-ing. “Kedua petani yang tinggal di sana adalah suami istri yang
sudah tua. Ketika aku melompat ke dalam rumahnya segera aku diterjang seekor anjing, syukur aku sempat
menggaploknya sekali hingga binatang itu roboh kelengar, tapi suara gonggong anjing itu telah membikin
kakek dan nenek petani itu terjaga bangun. Terdengar si nenek berkata, ‘He, bapaknya A Yu, jangan-jangan
ada pencuri.’ Lalu terdengar si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana bisa ada pencuri!’ Tiba-tiba si
nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin pencuri itu meniru caramu dahulu, bila tengah malam menggeremet ke
rumahku, selalu kau membawa sepotong daging untuk umpan anjingku.’.”
“Ah, si nenek itu rada-rada berengsek, masakah dia memakimu sebagai pencuri secara tidak langsung,” ujar
Lenghou Tiong dengan tertawa. Ia tahu Ing-ing rada pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa
kedua suami istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka masa dahulu, dengan demikian Inging
akan terus bercerita, kalau tidak, bisa jadi si nona takkan menuturkan lagi apa yang didengarnya di rumah
petani itu.
Dengan tertawa Ing-ing lantas menjelaskan, “Yang dimaksudkan si nenek petani itu adalah kejadian sebelum
mereka kawin....” sampai di sini tiba-tiba ia cambuk keledai dan melarikan keretanya lagi.
“Kejadian sebelum mereka kawin?” Lenghou Tiong menegas. “Tentunya kelakuan mereka sangat baik, biarpun
berada bersama dalam kereta di tengah malam buta tentu juga mereka tidak berani saling peluk dan
berciuman.”
“Cis!” Ing-ing mencemoohkan, lalu tidak bicara lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“O, adik yang baik, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan, ceritakanlah terus!” pinta Lenghou Tiong.
Namun Ing-ing diam saja. Di tengah malam gelap hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai yang
nyaring.
Lenghou Tiong coba memandang ke depan, cahaya bulan menyinari jalan raya yang lurus dan lebar diselimuti
kabut tipis remang-remang, perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut lalu pemandangan di
kejauhan tak tertampak lagi, bahkan Ing-ing yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut
yang tipis itu.
Saat itu baru permulaan musim semi, bau harum bunga hutan sayup-sayup mewangi menyegarkan semangat.
Sudah lama Lenghou Tiong tidak minum arak, tapi keadaannya sekarang tiada ubahnya dalam keadaan radarada
mabuk.
Ing-ing diam saja, tapi selalu mengulum senyum, rupanya ia sedang mengenangkan apa yang didengarnya dari
percakapan suami istri petani tua itu. Kata si kakek. “Malam itu aku tidak dapatkan daging terpaksa main curi
seekor ayam tetangga dan kubawa sebagai umpan anjingmu. O ya, apa namanya anjing itu?”
Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang!”
“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, dengan sendirinya
ayah-ibumu juga tidak tahu. Dan pada malam itu juga jadilah si A Yu kita.”
“Hm, kau hanya tahu senang sendiri tanpa ambil pusing pada susah payah orang lain,” si nenek mengomel.
“Kemudian setelah perutku menjadi besar, tahukah kau bahwa aku digebuki Ayah hingga hampir-hampir
mampus.”
“Untung juga perutmu lantas tumbuh besar, rupanya perutmu berdiri di pihakku, kalau tidak masakah
bapakmu sudi membiarkan dirimu diperistri seorang miskin seperti diriku? Waktu itu aku justru mengharapkan
perutmu lekas besar!”
Mendadak si nenek marah, dampratnya, “Setan alas! Kiranya waktu itu kau memang sengaja membikin
perutku menjadi besar, mengapa kau tidak bicara terus terang waktu itu dan baru mengaku sekarang? Aku
tidak... tidak dapat mengampunimu.”
“Ah jangan ribut lagi! A Yu sekarang pun sudah dewasa, buat apa kau ribut-ribut lagi?”
Habis itu karena khawatir Lenghou Tiong menunggunya terlalu lama, Ing-ing tidak berani mendengarkan terus,
lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di
atas meja. Agaknya suami istri petani itu sudah tua, pula sedang asyik membicarakan masa muda mereka
yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumahnya telah kebobolan.
Teringat kepada percakapan suami-istri petani itu wajah Ing-ing jadi merah, untung di tengah malam gelap,
kalau tidak, tentu malu bila dilihat oleh Lenghou Tiong.
Ia tidak mempercepat lagi keledainya, perlahan keledai itu memperlambat langkahnya. Tidak lama kemudian
sampailah di tepi sebuah danau, rindang oleh pepohonan, air danau kemilauan tertimpa oleh cahaya bulan.
“Engkoh Tiong, apakah engkau tertidur?” tanya Ing-ing perlahan.
“Ya, aku sudah tidur, aku sedang mimpi,” sahut Lenghou Tiong.
“Mimpi apa?” tanya Ing-ing.
“Mimpi aku membawa sepotong daging dan menggeremet ke tempat tinggalmu di Hek-bok-keh untuk memberi
makan pada anjingmu,” kata Lenghou Tiong.
“Buset! Dasar orang tidak beres, maka impianmu juga tidak beres,” omel Ing-ing dengan tertawa.
Kedua muda-mudi itu duduk berendeng di atas kereta sambil memandangi air danau, tanpa terasa Lenghou
Tiong menjulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ing-ing. Rada gemetar tangan si nona tapi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tidak mengelak.
“Bila dapat begini selamanya dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, biarpun
menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia demikian ini,” pikir Lenghou Tiong.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ing-ing bertanya.
Dengan terus terang Lenghou Tiong mengatakan apa yang terpikir olehnya itu.
Ing-ing balas menggenggam erat-erat tangan Lenghou Tiong dan berkata, “Engkoh Tiong, sungguh aku merasa
sangat bahagia.”
“Demikian pula aku,” sahut Lenghou Tiong.
“Meski engkau memimpin para kesatria menyerbu ke Siau-lim-si, walaupun aku sangat berterima kasih, tetapi
rasanya tidak segembira sekarang,” kata Ing-ing. “Engkau menyerbu Siau-lim-si untuk menolong diriku lebih
banyak terdorong oleh rasa setia kawan sesama orang Kang-ouw. Tapi sekarang yang kau pikir hanyalah diriku
seorang tanpa terkenang kepada siausumoaymu....”
Mendengar disebutnya “siausumoaymu”, seketika hati Lenghou Tiong tergetar dan merasa harus lekas
menyusul sang siausumoay yang mungkin sedang terancam bahaya itu.
Tapi Ing-ing berkata pula dengan perlahan, “Sampai saat ini barulah aku percaya bahwa dalam pandanganmu,
dalam hatimu ternyata lebih memberatkan diriku daripada siausumoaymu.”
Habis itu, ia menarik tali kendali sehingga keledai itu melangkah kembali ke tengah jalan raya, ketika cambuk
berbunyi, segera binatang itu berlari pula dengan cepat ke depan.
Sekaligus lebih 20 li telah lalu, keledai itu sudah mulai lelah lagi dan memperlambat larinya. Setelah membelok
dua tikungan, tertampaklah di depan ladang jagung yang luas di tepi jalan, di bawah cahaya rembulan ladang
luas itu laksana sutra hijau terbentang di bumi raya ini.
Ketika diperhatikan ke depan sana, dari jauh tampak sebuah kereta berhenti di tepi jalan sana.
“Agaknya itulah kereta yang ditumpangi Lim-sute,” kata Lenghou Tiong.
“Coba kita mendekatinya dengan perlahan,” Ing-ing sambil membiarkan keretanya maju dengan lambat
sehingga jaraknya makin mendekat dengan kereta di depan itu.
Tidak lama, tertampaklah dengan jelas di samping kereta itu ada seorang berjalan kaki sendirian, ternyata Lim
Peng-ci adanya. Terlihat pula kereta itu menggeser beberapa gelinding ke depan, orang yang menjadi kusir
tentulah Gak Leng-sian kalau dilihat dari belakang.
Lenghou Tiong terheran-heran, segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan keretanya, dengan suara
tertahan ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?”
“Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya,” kata Ing-ing. Segera ia menyusup ke
tengah ladang jagung lebat itu terus menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Lim Peng-ci.
Sesudah dekat, ia coba mengikuti jalan kereta dengan menerobos tanaman jagung itu. Terdengar Lim Peng-ci
sedang berkata, “Kiam-boh sudah kuserahkan seluruhnya kepada ayahmu, kenapa kau masih mengikuti aku
saja?”
“Kau selalu curiga pada ayahku yang mengincar kiam-bohmu segala, sungguh tidak beralasan,” demikian Gak
Leng-sian menjawab. “Coba pikirkan, waktu mula-mula kau masuk Hoa-san-pay kami, tatkala itu apakah kau
membawa kiam-boh segala? Tapi sejak itu, aku sudah... sudah baik denganmu, masakah karena itu kau tuduh
aku bermaksud tertentu terhadap dirimu.”
“Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami terkenal di seluruh jagat, banyak orang tidak menemukannya pada
ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah diriku. Dari mana aku bisa yakin bahwa kau tidak disuruh
ayah-ibunya agar membaiki diriku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Jika kau pikir begitu, apa mau dikata lagi. Terserah!” sahut Leng-sian dengan tersenggak-sengguk.
“Memangnya aku salah menuduhmu?” Peng-ci menjadi marah. “Bukankah Pi-sia-kiam-boh akhirnya dari
tanganku jatuh pada ayahmu? Pendek kata, betapa pun juga untuk memperoleh Pi-sia-kiam-boh setiap orang
harus mengerahkan sasarannya kepada diriku. Hm, apakah dia Ih Jong-hay, Bok Ko-hong, atau Gak Put-kun,
hm, apa bedanya? Hanya saja Gak Put-kun yang berhasil dan dia yang menjadi raja, Ih Jong-hay dan Bok Kohong
gagal, maka mereka menjadi pecundang.”
“Kata-katamu yang menghina ayahku itu, lalu kau anggap aku ini orang macam apa?” kata Leng-sian dengan
gusar. “Coba kalau bukan... kalau bukan... hm....”
Mendadak Peng-ci berdiri tegak dan berseru, “Kau mau apa? Kalau bukan mataku buta dan terluka tentu akan
kau binasakan aku, begitu bukan maksudmu? Mataku ini kan tidak buta pada hari ini saja!”
“Jadi kau maksudkan perkenalanmu padaku dan hubungan baik kita dari dahulu itu disebabkan kau buta?”
“Benar,” jawab Peng-ci. “Dari mana kau tahu bahwa kedatanganmu ke Hokciu dengan pura-pura membuka
kedai arak ternyata mempunyai rencana jangka panjang, tujuanmu yang utama sesungguhnya hanya Pi-siakiam-
boh belaka. Kau telah digoda oleh bocah she Ih dari Jing-sia-pay padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi
daripada dia, namun kau pura-pura lemah dan memancing aku ikut turun tangan membelamu. Wahai Lim
Peng-ci, dasar matamu memang buta, hanya sedikit kepandaianmu yang menyerupai cakar ayam saja berani
menonjolkan diri menjadi pahlawan pelindung si cantik segala. Apalagi kau adalah anak gadis kesayangan
ayah-bundamu, kalau bukan karena sesuatu tujuan yang penting masakah mereka mau membiarkanmu
keluyuran di luar dan menjadi penjual arak yang rendah segala.”
“Yang disuruh ke Hokciu oleh Ayah sebenarnya adalah Jisuko. Aku cuma terdorong oleh keinginan pesiar saja,
maka berkeras minta ikut berangkat bersama Jisuko.”
“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi anak muridnya, bila dia anggap tidak pantas, biarpun kau berlutut dan
menangis tiga hari tiga malam juga takkan dia luluskan. Sudah tentu lantaran dia juga tidak percaya penuh
kepada Jisuko, makanya kau dikirim sekalian untuk mengawasinya.”
Leng-sian terdiam, ia pikir apa yang diterka Peng-ci bukan tiada beralasan nama sekali. Selang sejenak barulah
ia buka suara pula, “Baiklah, percaya atau tidak terserahlah padamu. Yang pasti ketika aku datang ke Hokciu
belum pernah kudengar nama Pi-sia-kiam-boh segala. Aku cuma dengar Ayah mengatakan bahwa orang-orang
Jing-sia-pay telah dikerahkan ke timur dan mungkin merugikan Hoa-san-pay kita, maka aku dan Jisuko
ditugaskan menyelidiki gerak-gerik mereka.”
Peng-ci menghela napas, agaknya perasaannya rada lunak kembali, katanya, “Baiklah, biar aku percaya lagi
satu kali padamu. Akan tetapi keadaannya sudah menjadi begini, buat apa kau ikut pada diriku? Hanya
resminya saja kita ini suami-istri, tapi praktiknya toh tidak. Kau masih tetap berbadan perawan, sebaiknya
kau... kembali kepada Lenghou Tiong saja.”
Mendengar kata-kata “Resminya kita adalah suami-istri, tapi praktiknya tidak. Kau masih tetap berbadan
perawan”, keruan Ing-ing terkejut, katanya dalam hati, “Mengapa bisa begitu?”
Tapi segera mukanya menjadi merah dan menganggap seorang agak perempuan tidaklah pantas mencuri
dengar percakapan pribadi suami-istri orang, apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benarbenar
tidak pantas.
Karena itu segera ia bermaksud tinggal pergi, tapi baru putar tubuh, rasa ingin tahunya mendorongnya
mendengarkan lebih lanjut percakapan Leng-sian dan Peng-ci itu.
Terdengar Leng-sian sedang berkata dengan perasaan hampa, “Baru tiga hari kita menikah segera kutahu
engkau sangat benci padaku, biarpun satu kamar dengan aku, namun engkau tidak sudi satu tempat tidur
dengan aku. Jika engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku kenapa... kenapa pula engkau menikahi
diriku?”
“Aku... aku tidak benci padamu,” sahut Peng-ci sambil menghela napas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari engkau pura-pura baik sekali padaku, bila malam hari
berada di kamar engkau lantas bersikap dingin, satu patah kata pun tidak mau bicara denganku. Berulang kali
ayah-ibu tanya padaku bagaimana engkau memperlakukan diriku dan selalu kujawab sangat baik....” Sampai di
sini mendadak ia menangis keras-keras.
Peng-ci lantas melompat ke atas kereta dan memegangi bahu Leng-sian, katanya dengan suara bengis, “Kau
bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar hal ini?”
“Sudah tentu benar, buat apa aku bohong?” sahut Leng-sian.
“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, selamanya belum pernah tidur seranjang denganmu.
Kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?”
“Sekali aku sudah menikah denganmu, dengan sendirinya aku adalah orang keluarga Lim,” jawab Leng-sian
dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan semoga tidak lama lagi engkau akan berubah pikiran. Aku
mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku mencerca suami sendiri, betul tidak?”
Untuk sejenak Peng-ci tidak bersuara, hanya mengertak gigi dengan rasa gemas, kemudian ia berkata pula
dengan perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga berlaku murah hati pula padaku,
tak tahunya yang menutupi kejelekanku. Jika kau tidak berkata demikian tentang diriku, mungkin sejak duludulu
jiwaku sudah melayang di puncak Hoa-san.”
“Mana bisa jadi begitu?” ujar Leng-sian. “Pengantin baru, biarpun terjadi sedikit selisih paham juga tidak
mungkin sang mertua lantas membunuh menantunya.”
“Dia ingin membunuh aku bukan karena aku tidak baik padamu, tapi lantaran aku telah belajar Pi-sia-kiamhoat,”
kata Peng-ci dengan gemas.
“Hal ini sungguh membuat aku tidak paham,” kata Leng-sian. “Selama beberapa hari ini kiam-hoat yang
dimainkanmu dan Ayah benar-benar sangat aneh dan luar biasa lihainya. Ayah berhasil merebut kedudukan
ketua Ngo-gak-pay, kau berhasil pula membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, apakah... apakah ilmu pedang
yang kalian mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat?”
“Benar, itulah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami,” jawab Peng-ci. “Dengan ilmu pedang mahalihai itulah
leluhurku Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok dan disegani oleh kesatria dunia persilatan pada
zamannya.”
“Akan tetapi engkau selalu... selalu mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!”
“Mana aku berani mengaku terus terang,” jawab Peng-ci. “Lenghou Tiong yang berhasil merebut kasa (jubah
hwesio) itu di Hokciu, tapi rupanya sudah takdir, dia gagal memperolehnya, kasa yang tertuliskan Pi-sia-kiamboh
itu malah jatuh di tangan ayahmu....”
“Tidak, tidak mungkin,” seru Leng-sian. “Ayah bilang kiam-boh itu telah dikangkangi Toasuko, Ayah memaksa
dia mengembalikannya padamu, tapi Toasuko membangkang.”
“Hm,” Peng-ci menjengek.
Maka Leng-sian berkata pula, “Ilmu pedang Toasuko mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya.
Apakah mungkin yang dia mainkan itu bukan Pi-sia-kiam-hoat? Bukan hasil pelajaran dari Pi-sia-kiam-boh
keluarga Lim kalian?”
Kembali Peng-ci mendengus, lalu berkata, “Biarpun Lenghou Tiong itu licin tapi kalau dibandingkan ayahmu
boleh dikata masih ketinggalan jauh. Pula ilmu pedangnya kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Pi-siakiam-
hoat kami? Bukankah dalam pertandingan di depan Hong-sian-tay di Ko-san dia terluka oleh pedangmu?”
“Dia... dia sengaja mengalah padaku,” kata Leng-sian dengan suara rendah.
“Hm, alangkah dalam cintanya padamu,” jengek Peng-ci.
Kata-kata ini kalau didengar Ing-ing sehari sebelumnya mungkin si nona jatuh kelengar saking gusarnya. Akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tetapi semalam kedua orang telah bicara dengan mesra di tepi danau, kedua orang telah saling mengutarakan
isi hati masing-masing, maka sekarang Ing-ing malah merasa bahagia. Pikirnya, “Dahulu dia memang sangat
baik padamu, tetapi sekarang dia jauh lebih baik padaku.”
Terdengar Leng-sian berkata pula, “Kiranya yang dimainkan Toasuko itu bukan Pi-sia-kiam-hoat tapi mengapa
Ayah selalu menyalahkan dia mencuri Pi-sia-kiam-boh sehingga menjadikan salah satu tuduhan untuk
memecatnya dari Hoa-san-pay. Jika demikian jadi aku... aku salah sangka padanya.”
“Hm, salah sangka apa segala,” jengek Peng-ci. “Lenghou Tiong memangnya tidak bermaksud merebut kiamboh
keluarga kami, tapi praktiknya dia sudah merebutnya. Hanya saja ibarat maling ketemu begal, dalam
keadaan terluka dan jatuh pingsan, ayahmu menggerayangi kiam-boh itu dari tubuhnya, kemudian menuduh
dia sengaja menggelapkan kiam-boh. Ini namanya maling berteriak maling....”
“Maling apa segala? Kenapa pakai kata-kata tak enak didengar begitu?” ujar Leng-sian dengan gusar.
“Hm, apa perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh omong?” dengus Peng-ci.
Leng-sian menghela napas, katanya kemudian, “Ketika di Gang Matahari tempo hari memang kasa itu direbut
oleh komplotan penjahat Ko-san-pay, syukur Toasuko membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas
kembali kasa itu, tapi tak bisa menuduh dia ingin mengangkangi kasa itu. Toasuko memiliki jiwa besar dan hati
jujur, sejak kecil ia tidak pernah serakahi milik orang lain. Maka aku menjadi sangsi ketika Ayah menuduhnya
mengangkangi kiam-bohmu, hanya saja kiam-hoatnya mendadak maju dengan pesat hal ini pun membikin aku
sehingga ikut-ikutan percaya.”
“Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut padanya saja?” kata Peng-ci pula.
“Adik Peng-ci, sampai saat ini ternyata engkau masih belum bisa menyelami perasaanku,” jawab Leng-sian.
“Sejak kecil Toasuko dibesarkan bersamaku, dalam pandanganku dia tidak lebih adalah kakakku belaka. Aku
menghormat dan mengasihi dia sebagai kakak, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih.
Sebaliknya sejak kau datang ke Hoa-san, dalam waktu singkat saja kita lantas begitu cocok satu sama lain,
satu detik tidak bertemu saja rasanya tidak betah. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”
“Kau memang rada berbeda daripada ayahmu, kau... kau lebih mirip ibumu,” kata Peng-ci dengan nada halus,
nyata hatinya rada terharu oleh cinta murni Leng-sian itu.
Kedua orang terdiam sejenak, kemudian Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, cukup mendalam ciri ayahku
dalam pandanganmu, selanjutnya kalian berdua tentu sukar hidup damai bersama. Pendek kata aku sudah
menjadi orang keluarga Lim, ke mana pun kau pergi aku pasti ikut. Lebih baik kita mencari suatu tempat damai
yang jauh dan hidup bahagia untuk selamanya di sana.”
“Hm, muluk-muluk saja pikiranmu,” jengek Peng-ci. “Sekali aku sudah membunuh Ih Jong-hay dan Bok Kohong,
maka berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana, dengan sendirinya pula ayahmu akan mengetahui
aku telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan tidak nanti dia mau membiarkan aku hidup di dunia ini.”
Bab 122. Lim Peng-ci Kebiri Diri Sendiri untuk Meyakinkan Ilmu
Leng-sian menghela napas, katanya, “Adik Peng, engkau mengatakan Ayah mengincar kiam-bohmu, kenyataan
memang demikian, aku pun takkan membela Ayah, tapi engkau menuduh dia hendak membunuhmu lantaran
engkau mahir Pi-sia-kiam-hoat, kurasa hal ini tidak masuk di akal. Pi-sia-kiam-boh memangnya adalah milik
keluarga Lim kalian, jika engkau mempelajari ilmu pedangmu adalah layak sekali, betapa pun Ayah tidak dapat
membunuhmu hanya karena alasan itu.”
“Kau bicara demikian lantaran belum kenal pribadi ayahmu dan juga tidak tahu macam apakah Pi-sia-kiam-boh
itu,” kata Peng-ci.
“Bahkan terhadap hatimu aku pun sungguh tidak paham,” kata Leng-sian.
“Ya, tidak paham, kau memang tidak paham! Buat apa mesti paham?” kata Peng-ci mulai aseran pula.
Leng-sian tidak berani banyak omong lagi, katanya kemudian, “Marilah kita berangkat saja.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ke mana?” tanya Peng-ci.
“Kau suka ke mana, ke situlah aku akan ikut, biarpun ke ujung langit sekalipun aku tetap bersamamu,” jawab
Leng-sian tegas.
“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal.”
“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, sebelumnya aku sudah ambil keputusan bagi kehidupanku seterusnya,
mana bisa merasa menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan, umpama tak bisa pulih
kembali juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”
Ucapan Leng-sian yang penuh perasaan ini sangat mengharukan Ing-ing, ia merasa Gak Leng-sian sebenarnya
adalah nona yang sangat baik, hanya saja bernasib malang sehingga tingkah lakunya terkadang rada-rada
aneh.
Terdengar Peng-ci mendengus, agaknya masih kurang percaya akan tekad Gak Leng-sian itu.
Dengan suara halus Leng-sian berkata pula, “Adik Peng, agaknya engkau masih sangsi pada diriku. Biarlah
malam ini juga aku me... menyerahkan diriku padamu, dengan begitu dapatlah kiranya kau percayai diriku.
Biarlah malam ini juga kita bermalam pengantin di sini, marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya
dan selanjutnya... selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya....”
Makin lama makin lirih suaranya sehingga akhirnya tak terdengar.
Kembali Ing-ing merasa heran dan kikuk oleh ucapan Leng-sian itu. Segera ia bermaksud tinggal pergi agar
tidak menyaksikan “praktik” menjadi suami istri sebagaimana dikatakan Gak Leng-sian itu, dalam hati ia pikir
Nona Gak ini benar-benar tidak tahu malu, masakah di tengah jalan raya sampai hati melakukan hal begituan.
Sekonyong-konyong terdengar Lim Peng-ci berteriak, suaranya seram bengis, menyusul lantas membentak,
“Enyah sana! Jangan dekat-dekat ke sini.”
Keruan Ing-ing terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, hal apa yang membuat Lim Peng-ci menjadi beringas?
Menyusul terdengar pula suara tangisan Leng-sian, lalu Peng-ci membentaknya lagi, “Enyah sana, enyah yang
jauh! Aku lebih suka dibunuh ayahmu daripada kau ikut diriku.”
“Mengapa engkau menghina diriku sedemikian rupa, sesungguhnya apa... apa kesalahanku?” tanya Leng-sian
sambil menangis.
“Aku... aku...” Peng-ci tertegun, lalu melanjutkan, “Kau... kau....” tapi lantas bungkam pula.
“Apa yang hendak kau katakan, bicaralah terus terang,” pinta Leng-sian. “Jika memang aku bersalah atau
engkau tak dapat memaafkan kesalahan ayahku, asal kau bicara terus terang, tanpa engkau bertindak apa-apa
segera aku akan bunuh diri di hadapanmu.”
“Sret”, segera ia melolos pedangnya.
“Aku... aku...” kembali Peng-ci berkata dengan tergegap. Selang sejenak, lalu ia menghela napas panjang dan
menyambung, “Ya, memang bukan salahmu, sesungguhnya aku sendiri yang tidak baik.”
Kembali Leng-sian menangis sedih, ya malu, ya gemas, ya cemas.
Akhirnya Peng-ci berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang padamu.”
“Memangnya, biar kau pukul diriku atau bunuh sekalipun aku rela, asalkan jangan kau bikin orang merasa
bingung,” kata Leng-sian.
“Karena kau tidak berhati palsu terhadap diriku, maka akan kukatakan terus terang padamu agar selanjutnya
kau tak mengharap-harapkan lagi atas diriku,” kata Peng-ci.
“Sebab apa?” tanya Leng-sian bingung.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Sebab apa? Tentunya kau tahu Pi-sia-kiam-hoat sangat terkenal di dunia persilatan sehingga tokoh-tokoh ilmu
pedang seperti ayahmu dan Ih Jong-hay juga mengincarnya dengan segala daya upaya, akan tetapi mengapa
ilmu pedang ayahku sebaliknya begitu rendah? Dianiaya orang juga tidak mampu melawan? Kenapa bisa
begitu, apa sebabnya.”
“Mungkin bakat Kongkong kurang atau sejak kecil mungkin badannya lemah. Anak murid keturunan jago silat
tidak selamanya berilmu silat tinggi pula.”
“Bukan begitu. Biarpun ilmu pedang ayahku sangat rendah, paling-paling disebabkan latihannya kurang,
tenaga dalamnya lemah. Akan tetapi Pi-sia-kiam-hoat yang dia ajarkan padaku pada hakikatnya salah semua.”
“Ini benar-benar aneh,” ujar Leng-sian.
“Kalau kuceritakan tentu tak aneh lagi. Apakah kau tahu orang macam apakah sebenarnya moyangku yang
bernama Lim Wan-tho itu?”
“Tidak tahu,” sahut Leng-sian.
“Asalnya dia adalah seorang hwesio.”
“O, kiranya seorang cut-keh-jin (orang yang meninggalkan rumah). Banyak juga tokoh-tokoh persilatan
ternama yang pada hari tua sering kali meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi hwesio.”
“Tapi moyangku tidak meninggalkan rumah pada hari tua, dia justru menjadi hwesio lebih dulu baru kemudian
kembali ke masyarakat ramai.”
“Tentang masa muda moyang kita itu apakah kau dengar dari cerita Kongkong?” tanya Leng-sian.
“Tidak, selamanya Ayah tak pernah bercerita, bahkan beliau sendiri mungkin juga tidak tahu. Ruangan
sembahyang kediaman kami yang dulu di Gang Matahari di Kota Hokciu itu pernah kita datangi pada malam
itu, kau masih ingat bukan?”
“Ya,” sahut Leng-sian.
“Sebab apa Pi-sia-kiam-boh itu tertulis di atas kasa? Soalnya beliau tadinya adalah seorang hwesio sebuah
biara, di sana beliau dapat mencuri baca kiam-boh itu, lalu diturun dengan ditulis pada kasa yang dipakainya
itu. Setelah beliau kembali menjadi preman, di rumah kediamannya diadakan pula sebuah ruangan Buddha dan
tetap melakukan ibadatnya dengan taat.”
“Gagasanmu cukup masuk di akal. Namun bukan mustahil kiam-boh itu diperoleh moyang kita dari seorang
padri sakti dan kiam-boh itu memang tertulis di atas kasa. Jadi moyang kita memperoleh kiam-boh itu dengan
cara yang jujur dan terang.”
“Bukan begitu,” ujar Peng-ci.
“Bila engkau mempunyai dugaan lain, tentu engkau ada alasannya,”
“Aku tidak menduga secara ngawur, tapi moyang Lim Wan-tho sendiri yang mencatat kisahnya di atas kasa.”
“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian.
“Pada akhir kiam-boh yang dia turun dari hasil curi lihat itu dengan jelas ditulis oleh beliau, bahwa tatkala itu
beliau masih menjadi hwesio di kuil itu dan tanpa sengaja melihat kiam-boh tersebut, lalu diturunnya di atas
kasa serta dibawa pulang. Beliau memperingatkan dengan sangat bahwa ilmu pedang itu terlalu keji dan
merugikan orang yang melatihnya, yang melatihnya pasti akan putus keturunan, oleh karena itu beliau
menganjurkan jangan sembarangan meyakinkan ilmu pedang tersebut.”
“Akan tetapi beliau sendiri toh melatihnya juga.”
“Tadinya aku pun berpikir begitu,” kata Peng-ci. “Seumpama ilmu pedang itu terlalu keji dan sulit, namun
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
setelah moyang sendiri meyakinkannya toh masih kawin dan beranak, tetap punya keturunan.”
“Benar. Cuma besar kemungkinan beliau kawin dan punya anak lebih dulu, kemudian baru meyakinkan ilmu
pedang.”
“Pasti tidak begitu. Setiap orang persilatan di dunia ini betapa pun lihainya, bila sekali sudah tahu jurus
pertama Pi-sia-kiam-hoat, maka pasti ingin tahu pula jurus kedua, lalu ingin tahu pula jurus ketiga dan
seterusnya. Sekalipun tahu akibatnya akan sangat merugikan dirinya pasti takkan digubrisnya.”
Mendengar sampai di sini, Ing-ing menjadi teringat kepada ucapan ayahnya bahwa Pi-sia-kiam-boh itu
sebenarnya berasal dari suatu sumber yang sama dengan Kui-hoa-po-tian yang menjadi pusaka agamanya.
Pantas ilmu pedang Gak Put-kun dan Lim Peng-ci sedemikian mirip dengan kepandaian Tonghong Put-pay.
Ayahnya juga pernah mengatakan bahwa ilmu silat dalam kitab Kui-hoa-po-tian itu lebih banyak merusak
daripada mendatangkan manfaat bila meyakinkannya. Sekali membaca ilmu pedang atau ilmu silat yang
tercantum dalam kitab pusaka itu, biarpun tahu akibatnya bisa celaka toh sukar untuk menahan rasa ingin
mempelajarinya. Rupanya Ayah sejak mula sama sekali tidak membuka kitab itu, dengan demikian beliau
menjadi tidak terjerumus, sungguh suatu tindakan yang tepat dan bijaksana.
Tetapi segera terpikir pula olehnya, “Lalu mengapa Ayah menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Putpay?”
Pertanyaan itu segera terjawab, “Tentu pada waktu itu Ayah telah mengetahui maksud buruk Tonghong Putpay,
maka sengaja menyerahkan kitab pusaka itu padanya untuk menjerumuskan dia. Hiang-sioksiok mengira
Ayah kena dipikat oleh Tonghong Put-pay sehingga merasa khawatir. Padahal orang cerdik dan lihai seperti
Ayah mana bisa dikelabui orang dengan begitu saja? Hanya saja segala sesuatu juga bergantung pada takdir,
Tonghong Put-pay ternyata turun tangan lebih dulu, Ayah ditawan dan dikurung di gua di dasar danau. Syukur
Tonghong Put-pay tidak teramat kejam, bila waktu itu Ayah terus dibunuhnya, tentu Ayah tiada kesempatan
buat menuntut balas. Padahal terbunuhnya Tonghong Put-pay juga terjadi secara untung-untungan saja, tentu
Ayah, Hiang-sioksiok, dan diriku sudah terbunuh oleh Tonghong Put-pay. Dan kalau waktu itu tiada Nyo Lianting
yang sengaja kusiksa untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay (tak terkalahkan) tentu pula akan
tetap put-pay dia.”
Berpikir sampai di sini ia menjadi rada kasihan terhadap nasib Tonghong Put-pay. “Meski Ayah dikurung
olehnya namun aku diperlakukan tidak jelek dan cukup terhormat di Tiau-yang-sin-kau, malahan sekarang
ayahku sendiri yang menjadi kaucu aku tidak punya kekuasaan seperti tempo hari. Tapi, ai, aku sudah memiliki
Engkoh Tiong, buat apa menginginkan kekuasaan apa segala seperti dahulu,” demikian terpikir pula olehnya.
Teringat kepada kejadian-kejadian yang telah lalu, ia sendiri menjadi terkesiap pula pada jalan pikiran sang
ayah, bahkan sampai sekarang ayahnya masih tidak mau mengajarkan kepada Engkoh Tiong cara
memunahkan tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh, yaitu tenaga yang disedotnya dari orang lain dengan
Gip-sing-tay-hoat. Menurut kata ayahnya, bila Lenghou Tiong mau masuk agamanya baru akan mengajarkan
ilmu memunahkan hawa murni liar itu kepadanya, bahkan akan diumumkan kepada segenap anggota bahwa
Lenghou Tiong adalah calon penggantinya, namun Lenghou Tiong ternyata tidak mau tunduk, hal ini
membuatnya ikut serbasusah. Begitulah, di tempat sembunyinya ternyata yang terpikir oleh Ing-ing hanya diri
Lenghou Tiong belaka.
Saat itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci juga terdiam semua. Selang tak lama barulah Peng-ci membuka suara,
“Begitulah moyang Wan-tho menemukan ilmu pedangnya.”
“Sekalipun ilmu pedang yang dilatihnya akan menimbulkan malapetaka tentu pula akan waktu cukup lama.
Maka moyang Wan-tho sempat kawin dan punya anak, hal ini tentu terjadi sebelumnya timbul bencana
baginya.”
“Bukan. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas tahu bukan begitu halnya. Moyang Wan-tho
menikah dan punya anak justru terjadi sebelum beliau memperoleh kiam-boh.”
“Ah, mana bisa begitu?” ujar Leng-sian.
“Sudah tentu jadi, waktu itu beliau masih menjadi hwesio. Bahwasanya hwesio tidak boleh beristri adalah jelas,
tapi punya anak kan boleh. Kalau kakek adalah putra kandung moyang Wan-tho, maka tentu kakek adalah
putranya yang tidak sah, tegasnya anak haram dari hubungan gelap. Kukira sebabnya moyang Wan-tho
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terpaksa kembali ke masyarakat ramai tentu disebabkan persoalan pribadinya itu. Mungkin rahasianya
terbongkar dan terpaksa beliau harus angkat kaki.”
“Tapi moyang Wan-tho adalah seorang kesatria, seorang tokoh termasyhur, mungkin... mungkin takkan
berbuat demikian.”
“Sebab apa?” tanya Peng-ci dengan tak acuh.
“Kaum kesatria tulen harus dapat berbuat apa yang tak bisa diperbuat oleh orang biasa. Sesudah melihat kiamboh
pusaka itu, mungkin moyang Wan-tho sanggup menahan diri dan tidak lantas melatihnya. Sesudah kawin
dan punya anak barulah beliau mulai berlatih.”
“Dan bagaimana dengan kesanggupanku menahan diri?” tanya Peng-ci tiba-tiba.
“Kau... sudah tentu sangat hebat,” sahut Leng-sian.
“Ketika di Kota Heng-san, di rumah Lau Cing-hong, aku menyaru sebagai orang bungkuk, aku terpaksa
menjura kepada Bok Ko-hong dan memanggil kakek padanya, soalnya karena aku menanggung sakit hati yang
belum terbalas sehingga aku terima dihina untuk menunggu kesempatan yang baik bagiku.”
“Seorang laki-laki sejati harus bisa menahan perasaan, betapa pun hebatnya moyang Wan-tho mungkin juga
tidak sesabar dirimu,” ujar Leng-sian.
“Waktu aku melihat Pi-sia-kiam-boh, tatkala itu sudah dekat hari pernikahan kita, beberapa kali aku berpikir
akan kawin lebih dulu denganmu, habis itu baru mulai berlatih ilmu pedang itu. Akan tetapi ilmu pedang yang
tertera dalam kiam-boh itu ternyata mempunyai daya tarik yang luar biasa sehingga setiap jago silat tak
mampu menguasai nafsu ingin belajar bila melihatnya. Karena itu, akhirnya aku mengebiri diri sendiri demi
untuk meyakinkan ilmu pedang....”
“Hah! Engkau... mengebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang jahanam itu?” Leng-sian menegas sambil
melonjak.
“Benar,” jawab Peng-ci dengan dingin. “Kunci pertama pada pembukaan Pi-sia-kiam-boh itu menyebutkan
bahwa jika ingin menjagoi dunia persilatan, pertama harus kebiri diri sendiri lebih dulu.”
“Mengapa harus beg... begitu?” tanya Leng-sian dengan suara lemah.
“Pi-sia-kiam-boh itu harus dimulai dengan berlatih lwekang, kalau tidak kebiri dahulu, sekali mulai berlatih
serentak hawa nafsu akan berkobar-kobar, akibatnya menjadi cau-hwe-jip-mo, (kelumpuhan), lalu mati kaku.”
“O, kiranya demikian,” kata Leng-sian dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.
Dalam hati Ing-ing juga berucap, “O, kiranya demikian!”
Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh mahabesar seperti Tonghong Put-pay akhirnya terima
memakai baju perempuan, menyulam dan melayani orang macam Nyo Lian-ting dengan mesra, kiranya semua
itu adalah gara-gara meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, akibatnya berubah menjadi banci.
Terdengar Gak Leng-sian menangis tersedu-sedan, katanya dengan suara tak lancar, “Jadi ayahku juga... juga
telah berubah seperti... seperti engkau....”
“Jika sudah meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat mana bisa terkecuali?” jawab Peng-ci. “Sebagai seorang ketua suatu
aliran persilatan ternama, bila perbuatan ayahmu yang kebiri sendiri itu tersiar, bukankah akan ditertawai
setiap orang Kang-ouw? Sebab itulah, bila dia mengetahui aku juga meyakinkan ilmu pedang ini, pasti aku
akan dibunuhnya. Berulang kali dia tanya tentang perlakuanku terhadap dirimu, justru dia ingin tahu apakah
aku masih mampu berbuat begituan atau sudah kebiri juga. Coba kalau waktu itu kau kelihatan menyesali
diriku, sudah lama nyawaku melayang.”
“Dan sekarang dia tentu sudah tahu,” kata Leng-sian.
“Tentu saja. Setelah aku membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, dalam waktu beberapa hari saja tentu akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tersiar luas di dunia Kang-ouw,” kata Peng-ci dengan bangga.
“Jika betul seperti katamu, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampuni dirimu. Lalu sebaiknya ke mana
kita harus sembunyi?” ujar Leng-sian.
“Kita?” Peng-ci menegas. “Kau sudah tahu keadaanku sekarang dan masih mau mengikut aku?”
“Sudah tentu. Karena terpaksa, kau pun tak dapat disalahkan. Adik Peng, cintaku padamu dari awal sampai
akhir tetap sama. Nasibmu sungguh harus dikasihani....”
Belum habis ucapannya, mendadak ia menjerit dan melompat ke bawah kereta, agaknya didorong oleh Lim
Peng-ci.
Lalu terdengar Peng-ci berkata dengan gusar, “Aku tidak tahu dikasihani, siapa yang minta kasihan padamu?
Ilmu pedang sudah berhasil kuyakinkan, apa lagi yang kutakuti sekarang? Jika Gak Put-kun mengejar kemari
untuk membunuh diriku, lebih dulu dia harus mampu mengalahkan pedangku.”
Leng-sian diam saja.
Maka terdengar Peng-ci menyambung pula, “Nanti kalau luka mataku sudah sembuh, aku Lim Peng-ci akan
menjagoi dunia persilatan, apakah dia Gak Put-kun, Lenghou Tiong, dan ketua-ketua dari apa yang disebut
Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay segala semuanya bukan tandinganku lagi.”
Diam-diam Ing-ing membatin dengan gusar, “Kalau matamu sudah sembuh? Huh, matamu yang sudah buta itu
bisa sembuh?”
Sebenarnya dia rada kasihan terhadap nasib Peng-ci yang malang itu, tapi demi menyaksikan sikapnya yang
kasar dan tak berperasaan terhadap istrinya sendiri, pula mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tak
mau timbul rasa gemas dalam hati Ing-ing.
Terdengar Leng-sian menghela napas, lalu berkata, “Kau pun perlu mencari tempat untuk tinggal sementara,
sembuhkan dulu luka matamu.”
“Aku sudah tentu mempunyai cara menghadapi ayahmu,” kata Peng-ci.
“Keadaanmu dan Ayah sama saja, tentu kalian tidak perlu khawatir salah satu akan menyiarkan ciri pihak lain,”
ujar Leng-sian.
“Hm, terhadap pribadi ayahmu, aku jauh lebih kenal daripadamu,” jengek Peng-ci. “Mulai besok, terhadap
setiap orang yang kujumpai tentu akan kuberi tahukan hal ini.”
“Buat apa mesti berbuat begitu? Bukankah kau sendiri....”
“Buat apa? Justru inilah caranya menyelamatkan jiwa ragaku. Akan kukatakan kepada setiap orang yang
kujumpai dan tidak lama dengan sendirinya akan tersiar pula ke telinga ayahmu. Setelah dia mengetahui aku
sudah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuh aku untuk menutupi rahasianya,
malahan sebaliknya dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku.”
“Jalan pikiranmu sungguh sangat aneh,” kata Leng-sian.
“Kenapa merasa aneh? Apakah ayahmu kebiri diri sendiri atau tidak, sekali pandang saja tentu akan ketahuan.
Tapi kalau mendadak aku mati secara tidak terang, tentu setiap orang akan menuduh ayahmu sebagai
pembunuh diriku.”
Leng-sian menghela napas, ia paham apa yang dikatakan Peng-ci itu memang tidak salah. Ia menjadi
serbasusah. Jika Peng-ci benar mulai menyebarkan rahasia diri ayahnya, itu berarti runtuhlah nama baik
ayahnya selama ini. Sebaliknya kalau Peng-ci tidak bicara, itu berarti akan membahayakan diri pemuda itu
sendiri.
“Sekalipun mataku buta, tapi hatiku tidak buta,” kata Peng-ci pula. “Walaupun selanjutnya aku tak bisa melihat
apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah bunda sudah terbalas. Dahulu Lenghou Tiong
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menyampaikan pesan terakhir Ayah padaku, katanya benda-benda leluhur yang berada di kediaman lama di
Gang Matahari itu sekali-kali jangan diperiksa dan dilihat, katanya itulah pesan wasiat dari leluhur. Tapi
sekarang aku sudah memeriksa dan membaca dengan jelas benda tinggalan leluhur itu, meski aku melanggar
pesan leluhur, namun dapat membalas sakit hati ayah-bunda. Kalau aku tidak berbuat demikian, Pi-sia-kiamhoat
keluarga Lim kami hanya punya nama kosong belaka, orang-orang Hok-wi-piaukiok hanya kaum pendusta
belaka.”
“Dahulu engkau dan Ayah sama mencurigai Toasuko dan menuduh dia mengambil Pi-sia-kiam-boh, katanya dia
memalsukan pesan Kongkong....”
“Biarpun keliru menuduh dia lalu mau apa?” sela Peng-ci. “Bukankah waktu itu kau sendiri pun mencurigai
dia?”
Leng-sian menghela napas perlahan, katanya, “Waktu itu engkau belum lama kenal Toasuko, adalah layak jika
engkau berprasangka padanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia orang
yang benar-benar dapat memercayai Toasuko hanyalah Ibu seorang.”
“Siapa bilang hanya ibumu seorang?” demikian Ing-ing membantahnya di dalam batin.
Terdengar Peng-ci menjengek, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Lenghou Tiong. Lantaran
bocah itu, entah berapa kali ayah-ibumu bertengkar.”
“Ayah dan Ibu bertengkar karena Toasuko? Padahal Ayah dan Ibu selamanya tidak pernah cekcok, dari mana
engkau mendapat tahu?”
“Hm, selamanya tidak pernah cekcok? Itu cuma permainan sandiwara saja,” jengek Peng-ci. “Sampai hal-hal
demikian Gak Put-kun juga memakai kedok untuk menutupi kemunafikannya. Dengan telingaku sendiri aku
mendengar mereka bertengkar, mana bisa keliru.”
“Aku tidak bilang kau keliru, aku hanya merasa heran,” ujar Leng-sian. “Mengapa aku tidak tahu atau
mendengar, sebaliknya engkau malah mendengar pertengkaran mereka.”
“Tiada alangannya kalau sekarang kuceritakan kepadamu,” kata Peng-ci. “Ketika di Hokciu tempo hari, ketika
orang Ko-san-pay berhasil merebut kasa pusaka moyang, tapi mereka itu kena dibinasakan pula oleh Lenghou
Tiong dan dengan sendirinya kasa itu jatuh ke tangan Lenghou Tiong. Akan tetapi dia juga terluka parah dan
jatuh pingsan, ketika aku menggeledah badannya ternyata kasa itu sudah hilang entah ke mana?”
“Kiranya di Hokciu dahulu itu kau telah menggeledah badan Toasuko,” kata Leng-sian.
“Memang, ada apa?” tanya Peng-ci.
“Tidak apa-apa,” jawab Leng-sian.
Dalam hati Ing-ing merasa kasihan kepada Leng-sian yang mendapatkan suami selicik dan seculas itu, tentu
banyak kesukaran yang akan dideritanya kelak.
Terdengar Peng-ci berkata lagi, “Kalau kasa itu tidak berada pada Lenghou Tiong tentu telah diambil oleh ayahibumu,
maka sepulangnya di Hoa-san diam-diam aku lantas menyelidiki gerak-gerik ayahmu, namun
permainan ayahmu benar-benar sangat rapi, sedikit pun tiada memberi petunjuk yang mencurigakan. Waktu
itu ayahmu jatuh sakit, sudah tentu tiada seorang pun yang tahu apa penyakitnya, lebih-lebih tak tahu bahwa
begitu membaca Pi-sia-kiam-boh dia lantas kebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang. Setiap malam
aku berusaha mencari tahu rahasia ayah-ibumu itu, aku ingin mengetahui di mana kiam-boh itu disembunyikan
dari percakapan ayah-ibumu.”
“Setiap malam kau sembunyi di tepi tebing curam itu?” Leng-sian menegas.
“Ya,” sahut Peng-ci.
“Engkau benar-benar amat sabar dan telaten,” ujar Leng-sian.
“Demi menuntut balas sakit hati, terpaksa harus begitu,” kata Peng-ci.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kiranya tempat tinggal Gak Put-kun di puncak Hoa-san itu dibangun di tepi sebuah tebing curam yang disebut
“Thian-seng-kiap”. Di bawah tebing itu adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sungguh suatu tempat
yang sunyi dan sangat berbahaya. Orang luar mengira Gak Put-kun dan istrinya suka kepada kesunyian agar
dapat menyelami ilmu silat lebih tinggi, padahal Gak Put-kun mempunyai perhitungan lain.
Soalnya sejak Hoa-san-pay terpecah menjadi dua sekte, yaitu Kiam-cong dan Khi-cong, maka Gak Put-kun
khawatir kalau sisa-sisa sekte Kiam-cong menyergapnya untuk menuntut balas. Sebab itulah ia sengaja tinggal
di tempat yang amat curam dan berbahaya itu. Untuk mencapai Thian-seng-kiap yang terletak di puncak yang
tinggi itu hanya dihubungkan dengan sebuah jalan kecil yang melingkar-lingkar. Bila orang lain tentunya sukar
mendatangi tempat kediaman Gak Put-kun, namun Lim Peng-ci diketahui sebagai menantu kesayangan ketua
Hoa-san-pay itu, dengan sendirinya tiada seorang pun yang curiga bila melihat Peng-ci menuju ke Thian-sengkiap.
Begitulah terdengar Peng-ci menutur pula, “Berturut-turut belasan malam aku menunggu, tapi tiada terdengar
sesuatu yang menarik. Suatu malam kudengar ibumu berkata pada ayahmu, ‘Suko, kulihat air mukamu akhirakhir
ini rada-rada berubah, apakah akibat gangguan Ci-he-sin-kang yang meyakinkan itu? Hendaknya kau
dapat membatasi dirimu dan terburu nafsu ingin lekas mencapai tujuan sehingga menimbulkan kesukaran
malah.’ Ayahmu tertawa dan menjawab, ‘Ah, tidak apa-apa, lancar sekali latihanku.’
“Tapi ibumu tidak percaya, katanya, ‘Jangan membohongi aku. Apa sebabnya suaramu akhir-akhir ini radarada
berubah, bernada melengking tajam, lebih mirip suara perempuan.’ Ayahmu menjawab, ‘Hus, ngaco-belo!
Selamanya suaraku juga begini?’ Kudengar suaranya memang tajam melengking dan benar-benar mirip orang
perempuan bawel yang lagi uring-uringan.”
“Lalu ibumu berkata pula, ‘Masakah masih bilang tidak berubah? Selama ini belum pernah kau bicara sekasar
ini kepadaku. Suko, sesungguhnya ada urusan apa yang menyulitkanmu, hendaklah kau katakan terus terang
padaku. Sudah berpuluh tahun kita menjadi suami-istri mengapa kau dustai aku?’
“Ayahmu menjawab, ‘Urusan apa yang menyulitkan aku? Pertemuan di Ko-san sudah dekat waktunya, Co
Leng-tan bermaksud mencaplok keempat aliran yang lain, paling-paling hal inilah yang membikin hatiku rada
kesal.’ – ‘Kukira ada persoalan lain lagi,’ kata ibumu.
“Ayahmu menjadi aseran, katanya dengan suara melengking, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu ada
persoalan lain apa lagi?’ – ‘Kalau kukatakan hendaklah engkau jangan naik pitam, kutahu engkau telah salah
menuduh Anak Tiong,’ kata ibumu. – ‘Anak Tiong?’ ayahmu menegas. ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau dan
main cinta dengan nona she Yim dari agama iblis itu, hal ini diketahui siapa pun juga, masakah aku keliru
menyalahkan dia?’.”
Mendengar kata-kata Gak Put-kun yang diuraikan kembali oleh Lim Peng-ci menyangkut dirinya, wajah Ing-ing
menjadi panas, seketika timbul rasa hangat dalam hatinya.
Sementara itu terdengar Peng-ci berkata pula, “Ibumu menjawab, ‘Dia bergaul dengan orang Mo-kau sudah
tentu hal ini bukan fitnah, yang kumaksudkan adalah engkau menuduh dia mencuri Pi-sia-kiam-boh milik Anak
Peng itu.’ – ‘Memangnya kiam-boh itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya
mendadak maju dengan pesat, bahkan lebih lihai daripadaku,’ kata ayahmu.
“Ibumu menjawab pula, ‘Bisa jadi dia memperoleh penemuan aneh, aku berani memastikan dia pasti tidak
ambil Pi-sia-kiam-boh. Biarpun watak Anak Tiong suka ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia punya sifat yang suka
terus terang, tidak sudi berbuat hal-hal yang memalukan. Sejak Anak Sian bergaul rapat dengan Anak Peng
dan mengesampingkan dia, orang yang berwatak angkuh seperti dia, sekalipun Anak Peng mempersembahkan
kiam-boh kepadanya juga tak sudi diterima olehnya.’.”
Sungguh tidak kepalang rasa senang Ing-ing mendengar kata-kata demikian, saking senangnya ia berharap
akan segera dapat merangkul Gak-hujin untuk menyatakan terima kasih padanya. Ia pikir Nyonya Gak itu
memang tidak sia-sia membesarkan Engkoh Tiong sejak kecil, segenap orang Hoa-san-pay hanya engkau
seorang yang kenal pribadi Engkoh Tiong. Melulu berdasarkan kata-kata penilaian pribadi Engkoh Tiong itu
saja, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuberi balas jasa yang pantas, demikian pikirnya pula.
Dalam pada itu, Peng-ci sedang menyambung ceritanya, “Ayahmu telah mendengus, katanya, ‘Jika demikian,
jadi kau malah merasa menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari perguruan kita?’ – Ibumu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menjawab, ‘Jika dia melanggar peraturan dan dipecat, sudah tentu siapa pun tak dapat membelanya. Engkau
tuduh dia bergaul dengan orang Mo-kau kan sudah cukup beralasan, buat apa mesti memfitnah dia mencuri
kiam-boh? Padahal engkau sendiri jauh lebih tahu daripadaku, dengan jelas kau tahu dia tidak ambil kiam-boh
keluarga Lim itu.’ – Ayahmu mendadak berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’.”
Karena suara Peng-ci juga tajam melengking, di tengah malam sunyi suaranya yang menirukan jerit gusar Gak
Put-kun itu menjadi seperti burung hantu yang menyeramkan.
Bab 123. Rahasia Munculnya Lo Tek-nau
Selang sejenak barulah Peng-ci meneruskan pula, “Dengan perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu,
sebab kiam-boh itu justru kau sendiri yang mengambilnya.’ – Dengan gusar ayahmu menjerit pula, ‘Maksudmu
men... men....’ tapi hanya sekian saja ucapannya dan mendadak bungkam.
“Suara ibumu sangat tenang, katanya pula, ‘Dalam keadaan pingsan tempo hari, ketika aku membubuhi obat
pada luka Anak Tiong, kulihat dalam bajunya tersimpan sepotong kasa yang penuh tulisan mengenai ilmu
pedang. Ketika untuk kedua kalinya aku memberi obat padanya ternyata kasa itu sudah tidak ada, waktu itu
Anak Tiong masih belum sadar kembali. Selama itu di dalam kamar selain kita berdua tiada orang ketiga lagi,
dan yang pasti aku sendiri tidak ambil kasa bertulis ilmu pedang itu.’
“Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, tapi hanya menyebut dua-tiga saja secara samar-samar dan tidak
melanjutkan. Sebaliknya suara ibumu tambah halus dan berkata pula, ‘Suko, ilmu pedang Hoa-san-pay ada
keistimewaannya sendiri. Ci-he-sin-kang juga lain daripada yang lain, dengan ilmu sakti ini pun cukup kuat
bagi kita untuk menjagoi dunia persilatan, sebenarnya tidak perlu lagi mencuri belajar ilmu dari aliran lain.
Hanya saja akhir-akhir ini Co Leng-tan sangat bernafsu mencaplok keempat aliran lain sesama Ngo-gak-kiampay
kita, betapa pun Hoa-san-pay yang berada di bawah pimpinanmu tidak boleh jatuh ke dalam cengkeraman
Co Leng-tan. Asalkan kita berserikat dengan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, empat lawan
satu kukira pihak kita tetap lebih kuat. Seumpama akhirnya kita tak bisa menang sedikitnya kita masih
sanggup hantam mereka habis-habisan di Ko-san nanti, berada di akhirat juga kita tidak malu terhadap leluhur
Hoa-san-pay kita.’.”
Mendengar sampai di sini, diam-diam Ing-ing memuji Nyonya Gak itu benar-benar seorang kesatria wanita
yang hebat, jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.
Maka terdengar Leng-sian berkata, “Apa yang dikatakan Ibu itu memang tiada salahnya.”
Peng-ci mendengus, katanya, “Tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kiam-bohku dan sudah mulai
meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, mana dia mendengar nasihat Sunio?”
Dengan menyebut “sunio” (ibu guru) secara mendadak, hal ini menunjukkan hati Lim Peng-ci masih
mengindahkan dan menghormati Gak-hujin.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Waktu itu ayahmu telah menjawab, ‘Ucapanmu itu benar-benar
pandangan kaum wanita belaka. Melulu mengandalkan kegagahan dan main hantam saja toh tiada gunanya
bagi urusan yang lebih penting.’ – Ibumu diam sejenak, lalu berkata, ‘Sebenarnya boleh juga tujuanmu buat
menyelamatkan Hoa-san-pay dengan segala daya upaya. Hanya saja itu... itu Pi-sia-kiam-hoat pasti lebih
banyak rugi daripada untungnya bila melatihnya, anak cucu keluarga Lim mengapa tiada yang meyakinkan ilmu
pedang leluhurnya? Maka kunasihatkan sebaiknya dapat menahan hasrat dan jangan berlatih ilmu pedang itu.’
– Dengan suara keras ayahmu menjawab, ‘Dari mana kau tahu?... Kau selalu mengintip gerak-gerikku?’ –
‘Untuk mengetahuinya aku tidak mesti mengintip dirimu,’ sahut ibumu, ‘akhir-akhir ini suaramu banyak
berubah, hal ini dapat dilihat oleh siapa pun juga, masakah kau sendiri tidak tahu.’
“Ayahmu masih mendebat lagi, ‘Selamanya suaraku juga begini.’ – Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di atas
bantalmu tentu terdapat rontokan rambut kumis, engkau melihatnya sendiri? Sudah lama aku melihatnya,
hanya tidak kukatakan,’ sahut ibumu. ‘Kumis jenggot palsu yang kau tempelkan mungkin dapat mengelabui
orang lain, tapi mana bisa mengelabui sumoaymu yang berdampingan denganmu selama belasan tahun dan
bahkan menjadi istrimu selama berpuluh tahun ini?’
“Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah dia bertanya,
‘Apakah orang lain ada juga yang tahu?’ – ‘Tidak,’ jawab ibumu. – ‘Bagaimana dengan Anak Sian dan Anak
Peng?’ tanya pula ayahmu. – ‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu. Lalu ayahmu berkata, ‘Baik, aku menuruti
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nasihatmu. Kasa ini nanti kita cari jalan untuk diserahkan kepada Peng-ci, kemudian kita berusaha pula
mencuci bersih kesalahan yang dituduhkan kepada Anak Tiong. Mulai malam ini aku pun takkan meyakinkan
lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini.’ Ibumu menjadi girang, katanya, ‘Itulah yang paling baik. Cuma ilmu
pedang keluarga Lim itu jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kiam-boh ini diperlihatkan
kepada Peng-ci? Kukira lebih baik dimusnahkan saja.’”
“Tentunya Ayah tidak setuju,” ujar Leng-sian. “Kalau beliau setuju memusnahkan kiam-boh itu tentu... tentu
takkan terjadi seperti sekarang ini.”
“Kau salah terka. Waktu itu ayahmu justru setuju memusnahkan kiam-boh itu,” kata Peng-ci. “Aku sendiri pun
terkejut, segera aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim
kami, ayahmu tidak ada hak untuk memusnahkannya. Pada saat itu juga kudengar daun jendela dibuka, lekaslekas
aku mendak ke bawah, tiba-tiba sesuatu benda dilemparkan keluar, ternyata kasa merah itu yang
dibuang, menyusul jendela lantas ditutup kembali. Melihat kasa itu melayang ke bawah di sebelahku, kalau
didiamkan tentu akan jatuh ke dalam jurang, tanpa pikir lagi segera aku meraihnya dan untung sekali kasa itu
berhasil kupegang, walaupun aku sendiri hampir-hampir terperosot ke dalam jurang.”
Diam-diam Ing-ing berpikir, “Kau akan benar-benar beruntung bilamana tidak berhasil meraih kembali kasa
maut itu.”
“O, jadi Ibu mengira Ayah telah membuang kasa yang bertuliskan kiam-boh itu ke dalam jurang, padahal
sebelumnya Ayah telah menghafalkan ilmu pedang di luar kepala sehingga praktis kasa itu sudah tiada artinya
lagi baginya, sebaliknya engkau malah berhasil pula mempelajari ilmu pedang itu, bukan?”
“Benar,” sahut Peng-ci.
“Rupanya itu sudah takdir,” kata Leng-sian pula. “Agaknya semuanya itu sudah diatur oleh Thian Yang
Mahaadil agar engkau dapat membalas sakit hati Kongkong dan Popo.”
“Akan tetapi masih ada suatu hal yang membingungkan aku, beberapa hari terakhir ini aku telah berusaha
memecahkan soal ini, tapi biarpun kepalaku pecah memikirkannya tetap sukar dimengerti,” kata Peng-ci. “Yaitu
apa sebabnya Co Leng-tan juga dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat.”
“O,” hanya sekian Leng-sian bersuara secara tak acuh, tampaknya ia tidak ambil pusing apakah Co Leng-tan itu
mahir Pi-sia-kiam-hoat atau tidak.
Sebaliknya Peng-ci lantas berkata pula, “Kau tidak pernah belajar Pi-sia-kiam-hoat, maka tidak tahu di mana
letak kehebatan ilmu pedang itu. Tempo hari waktu Co Leng-tan bertempur melawan ayahmu di Hong-sian-tay,
ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata Pi-sia-kiam-hoat
semua. Hanya saja permainan Co Leng-tan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun akhirnya semakin
kacau, setiap jurus seakan-akan sengaja mengalah kepada ayahmu, syukur ilmu pedangnya memang
mempunyai dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak, tapi
tetap sukar terlepas dari lingkaran ancaman Pi-sia-kiam-hoat lawan dan akhirnya matanya kena dibutakan oleh
ayahmu. Coba kalau dia menggunakan Ko-san-kiam-hoat dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini adalah
masuk di akal karena Pi-sia-kiam-hoat memang tiada tandingannya di dunia ini. Soalnya yang membingungkan
aku adalah dari mana Co Leng-tan dapat belajar Pi-sia-kiam-hoat dan mengapa pula kepalang tanggung ilmu
pedang yang dipelajarinya itu?”
Sampai di sini Ing-ing merasa tiada sesuatu lagi yang menarik dalam percakapan kedua muda-mudi itu. Ia pikir
Pi-sia-kiam-hoat yang dipahami Co Leng-tan itu besar kemungkinan hasil curian dari Tiau-yang-sin-kau kami.
Pi-sia-kiam-hoat yang dipelajari Tonghong Put-pay jauh lebih lihai dari Gak Put-kun, bila kau menyaksikan pasti
akan bikin kepalamu pecah tiga kali juga sukar memahami persoalannya. Demikian pikirnya.
Pada saat ia hendak menyingkir itulah, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kuda sedang
mendatangi. Khawatir terjadi apa-apa atas diri Lenghou Tiong, cepat Ing-ing meninggalkan tempat Leng-sian
itu dan kembali ke keretanya sendiri.
“Engkoh Tiong, ada orang datang!” katanya lirih.
“Eh, kau mencuri dengar lagi tentang orang bawa daging untuk umpan anjing di rumah si gadis, bukan?
Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” dengan tertawa Lenghou Tiong mengolok-olok.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ing-ing menjadi teringat kepada permintaan Gak Leng-sian tadi yang ingin berbuat “begituan” dengan Lim
Peng-ci di dalam kereta agar mereka bisa menjadi “suami-istri resmi”, seketika wajah Ing-ing menjadi merah
jengah. Jawabnya kemudian, “O, mereka... mereka sedang bicara cara... cara berlatih Pi-sia-kiam-hoat.”
“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini, coba ceritakan padaku lebih
jelas,” pinta Lenghou Tiong.
“Tidak, tidak mau!” sahut Ing-ing.
“Kenapa tidak mau?” Lenghou Tiong memaksa.
“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ing-ing.
Sementara itu suara berdetak kaki kuda yang riuh tadi sudah makin mendekat.
“Dari jumlahnya tentunya mereka adalah sisa-sisa anak murid Jing-sia-pay, rupanya mereka benar-benar
menyusul kemari untuk menuntut balas.”
Segera Lenghou Tiong bangkit duduk, ia mengajak mendekati kereta Gak Leng-sian itu. Ing-ing mengiakan. Ia
tahu Lenghou Tiong teramat mengkhawatirkan keselamatan Leng-sian, kalau tidak menyaksikan sendiri nona
itu lolos dari bahaya dengan selamat, sesaat pun dia takkan merasa tenteram. Maka Ing-ing lantas
menurunkan Lenghou Tiong dari kereta.
Ketika kaki Lenghou Tiong menyentuh tanah, lukanya menjadi kesakitan, tubuhnya terhuyung dan cepat
memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja, kini keretanya sedikit bergerak,
disangkanya suruh menarik kereta lagi, segera binatang itu menegak kepala dan bermaksud meringkik.
Namun Ing-ing cukup cepat, pedangnya lantas menebas sehingga kepala keledai terpenggal sebelum bersuara.
Diam-diam Lenghou Tiong memuji akan kehebatan Ing-ing itu, bukan karena kecepatan pedangnya, tapi
ketegasan tindakannya.
Sementara itu terdengar suara derapan kuda tadi sudah makin mendekat, segera Lenghou Tiong melangkah
cepat ke depan.
Ing-ing pikir kalau terlalu cepat, Lenghou Tiong tentu akan membikin lukanya kesakitan lagi. Segera ia
menyusulnya dan berkata, “Engkoh Tiong, maaf!”
Tanpa menunggu jawaban ia terus cengkeram baju tengkuk dan punggungnya lalu angkat ke atas, segera ia
lari cepat menyusur tanaman jagung yang lebat itu dengan ginkang yang tinggi.
Lenghou Tiong menjadi geli dan berterima kasih pula. Sungguh keterlaluan dirinya sebagai ketua Hing-san-pay
ternyata dicengkeram oleh seorang gadis mirip anak kecil saja, kalau dilihat orang tentu bisa runyam. Tapi
kalau Ing-ing tidak ambil tindakan demikian, bila orang-orang Jing-sia-pay keburu tiba lebih dulu, tentu
Siausumoay akan celaka. Rupanya tindakan Ing-ing ini dilakukan karena dapat menyelami apa yang
dikhawatirkannya ini.
Tidak lama kemudian jarak kedua pihak sudah makin mendekat. Ing-ing coba melongok keluar tanaman
jagung, dalam kegelapan tertampak satu barisan obor sedang mendatang melalui jalan raya itu.
“Berani benar mereka ini mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ing-ing. Tapi segera ia berseru pula,
“Wah, celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta dengan api!”
“Lekas kita mencegat di depan mereka agar mereka tidak dapat kemari,” kata Lenghou Tiong.
“Jangan buru-buru, untuk menolong dua orang saja rasanya kita masih mampu,” ujar Ing-ing.
Lenghou Tiong tahu kepandaian Ing-ing cukup tinggi. Ih Jong-hay sudah mati, sisa orang-orang Jing-sia-pay
tentu tidak perlu ditakuti lagi.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kira-kira belasan meter dari tempat kereta Gak Leng-sian itu barulah Ing-ing menurunkan Lenghou Tiong,
katanya dengan suara tertahan, “Kau duduk saja di sini!”
Sementara itu terdengar Leng-sian sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah hampir tiba, benar juga
kawanan tikus dari Jing-sia-pay.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Peng-ci.
“Rupanya mereka anggap kita terluka maka secara berani mereka datang dengan membawa obor,” sahut Lengsian.
“Mereka membawa obor-obor?” Peng-ci menegas. Ternyata pikirannya lebih cerdik daripada Gak Leng-sian,
segera ia berkata pula, “Lekas turun ke bawah, kawanan tikus itu akan membakar kereta ini!”
Cepat Leng-sian melompat turun dari keretanya lalu memegang tangan Peng-ci untuk membantunya melompat
turun pula. Mereka menyingkir ke pinggir jalan dan menyusup ke tengah tanaman jagung, jaraknya cuma
belasan meter saja dari tempat sembunyi Ing-ing dan Lenghou Tiong.
Dalam pada itu orang-orang Jing-sia-pay sudah tiba dan mengepung kereta Gak Leng-sian. Seorang di
antaranya lantas berteriak, “Lim Peng-ci, bangsat kau! Apa kau ingin menjadi kura-kura (istilah makian bagi
germo)? Mengapa kau mengkeret, coba tongolkan kepalamu sini!”
Tapi keadaan dalam kereta sunyi senyap tiada jawaban. Segera seorang di antaranya berkata, “Mungkin dia
sudah melarikan diri dengan meninggalkan kereta ini.”
Tiba-tiba api obor memecah kegelapan, sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam
kereta menjulur keluar sebuah tangan, obor ditangkapnya terus dilemparkan kembali ke arah si pelempar tadi.
Keruan orang-orang Jing-sia-pay menjadi panik dan berteriak, “Bangsat, anjing itu berada di dalam kereta!”
Bahwa dari dalam kereta bisa menjulur keluar tangan seorang, hal ini tidak saja membikin heran Ing-ing dan
Lenghou Tiong, bahkan Leng-sian juga tak terkatakan kagetnya. Telah sekian lama dia bicara dengan Lim
Peng-ci, sama sekali tak terkira olehnya bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau melihat cara
orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, agaknya ilmu silatnya tidaklah rendah.
Obor yang dilemparkan anak murid Jing-sia-pay berturut-turut ada beberapa buah dan semuanya dapat
dilempar kembali oleh orang di dalam kereta itu, maka orang Jing-sia-pay yang lain tidak berani melempar
obor lagi, mereka mengelilingi kereta dari jauh sambil berteriak-teriak. Ada yang memaki, “Anak kura-kura itu
tidak berani keluar, besar kemungkinan dia terluka parah dan hampir mampus!”
Di bawah cahaya obor tertampak dengan jelas bahwa tangan itu kurus kering dengan urat yang menonjol di
sana-sini, terang tangan seorang tua dan sama sekali bukan tangan Lim Peng-ci atau Gak Leng-sian.
Orang-orang Jing-sia-pay menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Namun terdorong oleh hasrat
menuntut balas kematian guru mereka, terpaksa mereka harus bertindak. Sekonyong-konyong pedang mereka
sama menusuk ke dalam kereta.
Tapi mendadak sesosok tubuh meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemilapan, tahutahu
orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Jing-sia-pay, begitu pedangnya bekerja,
kontan dua murid Jing-sia-pay menggeletak.
Kelihatan orang itu memakai baju kuning seperti dandanan orang Ko-san-pay, tapi mukanya berkedok kain
hijau, hanya tertampak sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya
bergerak amat cepat, hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Jing-sia-pay yang lain dirobohkan pula.
Tangan Lenghou Tiong menggenggam tangan Ing-ing, kedua orang mempunyai pikiran yang sama. “Yang
dimainkan itu pun Pi-sia-kiam-hoat.”
Tapi kalau melihat perawakannya terang orang ini bukan Gak Put-kun, Lim Peng-ci, dan Co Leng-tan bertiga,
kini ada orang keempat pula yang dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini dengan sendirinya sangat
mengejutkan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dengan suara perlahan Gak Leng-sian berkata kepada Peng-ci, “Adik Peng, yang dimainkan orang ini
tampaknya serupa ilmu pedangmu.”
“He, dia... dia juga dapat memainkan ilmu pedangku? Kau tidak... tidak keliru?” sahut Peng-ci.
Tengah bicara, kembali tiga orang Jing-sia-pay terkena pedang pula. Kini Lenghou Tiong dan Ing-ing sudah
dapat melihat jelas. Meski jurus ilmu pedang yang dimainkan orang itu pun termasuk Pi-sia-kiam-hoat, tapi
ketangkasannya selisih terlalu jauh dibanding Tonghong Put-pay, dibanding Gak Put-kun dan Lim Peng-ci juga
belum memadai, hanya saja ilmu silat orang itu sendiri rupanya cukup tinggi, jauh lebih kuat daripada anak
murid Jing-sia-pay maka orang itu masih lebih unggul meski dikerubut orang banyak.
“Ilmu pedangnya tampaknya sama dengan ilmu pedangmu, hanya saja tidak secepat engkau,” kata Leng-sian
pula kepada Peng-ci.
“Gerakannya kurang cepat? Ini terang tidak cocok dengan inti ilmu pedang kami,” kata Peng-ci. “Akan tetapi
siapa... siapa dia? Mengapa dapat memainkan kiam-hoat itu?”
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang Jing-sia-pay dadanya ditembus oleh pedang orang itu.
Menyusul orang itu menggertak keras, pedangnya ditarik dan menebas pula, kontan seorang di belakangnya
terkutung sebatas pinggang. Orang-orang Jing-sia-pay yang lain menjadi jeri dan sama melompat mundur.
Kembali orang itu menggertak keras sekali terus menerjang maju. Mendadak seorang Jing-sia-pay menjerit
ketakutan sambil putar tubuh dan lari sipat kuping. Kawan-kawannya menjadi jeri dan beramai-ramai kabur.
Orang itu tampaknya rada lelah juga. Dari napas orang yang rada memburu itu, Lenghou Tiong dan Ing-ing
dapat menduga dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, besar kemungkinan
malah terluka dalam pula.
Setelah terengah-engah sebentar, orang tua baju kuning itu simpan kembali pedangnya ke dalam sarung
pedang, lalu berseru, “Lim-siauhiap dan Lim-hujin, aku diperintahkan Co-ciangbun dari Ko-san untuk datang
memberi bantuan.”
Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu agaknya dalam mulut mengulum sesuatu sehingga
ucapannya menjadi tidak jelas.
“Banyak terima kasih atas bantuan Anda, mohon tanya siapa nama Anda yang mulia?” sahut Peng-ci sambil
keluar dari tempat sembunyinya bersama Leng-sian.
Orang itu berkata pula, “Co-ciangbun mendapat tahu bahwa Lim-siauhiap bersama nyonya disergap musuh di
tengah jalan dan terluka parah, maka aku diperintahkan mengawasi Lim-siauhiap berdua untuk mencari suatu
tempat tetirah yang baik, tanggung takkan dapat ditemukan oleh ayah-mertuamu.”
Baik Lenghou Tiong dan Ing-ing maupun Lim Peng-ci dan Leng-sian sama heran dari mana Co Leng-tan
mendapat keterangan sejelas itu. Sementara beberapa obor di atas tanah masih menyala, sinar api
berguncang-guncang, sebentar terang sebentar guram.
Peng-ci lantas menjawab, “Maksud baikmu sungguh aku sangat berterima kasih. Tentang merawat luka
rasanya aku masih sanggup mengatasinya dan tidak berani bikin repot padamu.”
Orang tua itu berkata pula, “Tapi kedua mata Lim-siauhiap terkena racun si bungkuk, sukar sekali kiranya
untuk bisa melihat kembali, kalau engkau tidak diobati sendiri oleh Co-ciangbun, bisa jadi... bisa jadi mata Limsiauhiap
juga sukar dipertahankan.”
Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punuk Bok Ko-hong, baik mata maupun muka Peng-ci terasa
kaku dan gatal tak terkatakan, saking geregetan hampir-hampir ia cukil kedua biji mata sendiri, syukur ia
masih mampu bertahan sebisa mungkin, maka ia pun percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang
bukan untuk menakut-nakuti belaka.
Setelah termenung sejenak, kemudian Peng-ci menjawab, “Sebab apa Co-ciangbun menaruh kasihan
sedemikian mendalam padaku? Silakan menjelaskan lebih dulu, kalau tidak, sukar kiranya bagiku untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menerimanya.”
Orang itu tertawa terkekeh, lalu berkata pula, “Sama-sama dendam dan punya musuh yang sama, ini saja
sudah seperti sanak kadang sendiri. Kalau Gak Put-kun sudah tahu Lim-siauhiap meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat,
biarpun Siauhiap berusaha menyingkir ke ujung langit sekalipun juga akan diuber olehnya. Kini dia sudah
menjadi ketua Ngo-gak-pay, kekuasaannya besar, pengaruhnya luas, engkau seorang diri mau ke mana lagi...
Hehe, putri kandung kesayangan Gak Put-kun senantiasa mendampingimu siang dan malam, sulit berjaga
terhadap musuh di samping bantal....”
“Jisuko, ternyata dirimu!” mendadak Leng-sian berteriak.
Teriakan Leng-sian ini menggetarkan hati Lenghou Tiong pula. Dari suara orang tua yang samar-samar serak
itu memang dirasakan seperti sudah dikenalnya, kini setelah diteriaki Gak Leng-sian, seketika ia pun sadar
bahwa orang tua itu memang betul Lo Tek-nau adanya, yaitu bekas murid kedua Gak Put-kun.
Dari Leng-sian dulu Lenghou Tiong mendengar bahwa Lo Tek-nau terbunuh oleh musuh di Hokciu, jika begitu,
jadi kabar itu ternyata tidak betul.
“Hm, budak yang cukup cerdik, dapatlah kau mengenali suaraku,” kata orang tua itu dengan nada dingin.
Sekarang ia tidak bicara dengan suara yang dibikin-bikin, maka jelas suaranya memang suara Lo Tek-nau asli.
“Jisuko, di Hokciu, kau pura-pura mati dibunuh musuh, kalau begitu, tentunya... tentunya kaulah yang
membunuh Patsuko bukan?” tanya Peng-ci.
Lo Tek-nau hanya mendengus saja tanpa menjawab.
“Ya, tentu... tentu luka di punggung Peng-ci ini pun perbuatanmu, padahal selama ini aku telah salah menuduh
Toasuko,” teriak Leng-sian. “Hm, bagus sekali perbuatanmu. Rupanya kau sengaja membunuh seorang lain dan
mencacah mukanya hingga hancur lalu kau dandani dengan pakaianmu sehingga setiap orang mengira kau
telah mati dibunuh musuh.”
“Rekaanmu memang tidak salah,” jawab Lo Tek-nau. “Kalau tidak begitu, mustahil aku takkan dicurigai Gak
Put-kun bila mendadak aku menghilang? Hanya saja luka bacokan di punggung Lim-siauhiap itu bukanlah
perbuatanku.”
“Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” jengek Leng-sian.
“Juga tidak termasuk orang lain, justru adalah ayahmu sendiri,” kata Lo Tek-nau.
“Persetan!” teriak Leng-sian. “Kau sendiri yang berbuat, tapi memfitnah orang lain. Tanpa sebab musabab
mengapa ayahku membacok Adik Peng?”
“Soalnya waktu itu ayahmu telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dari Lenghou Tiong,” kata Tek-nau. “Kiam-boh
itu adalah milik keluarga Lim, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu justru adalah kau punya
Adik Peng ini. Bila Lim Peng-ci masih hidup di dunia ini, mana ayahmu dapat meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat
dengan baik?”
Ucapan Lo Tek-nau ini membikin Leng-sian menjadi bungkam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang
dikatakan itu memang masuk di akal. Tapi bahwasanya sang ayah tega menyergap Peng-ci secara keji hal ini
tetap sukar untuk dipercaya.
Maka setelah mengucap “persetan” beberapa kali, lalu ia berkata pula, “Jika ayahku hendak membunuh Adik
Peng, mustahil sekali bacok tidak membuatnya meninggal.”
“Bacokan itu memang benar dilakukan oleh Gak Put-kun, ucapan Jisuko memang tidak keliru,” tiba-tiba Peng-ci
menimbrung.
“Mengapa kau... kau pun berkata demikian?” ujar Leng-sian.
“Ketika kena bacokan pedang Gak Put-kun, lukaku sangat parah, aku tahu tidak mampu melawan, maka begitu
roboh segera aku pura-pura mati tanpa bergerak lagi, waktu itu aku tidak tahu bahwa yang menyerang itu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
adalah Gak Put-kun, guruku yang ‘tersayang’ itu, hehe!” jengek Peng-ci. “Dalam keadaan hampir tak sadar,
samar-samar kudengar suara Patsuko memanggil ‘Suhu!’. Agaknya panggilan Patsuko sendiri.”
“Kau maksudkan Patsuko juga... juga dibunuh oleh ayahku?” Leng-sian menegas dengan terkejut.
“Memang begitulah adanya,” jawab Peng-ci. “Kudengar sehabis Patsuko memanggil Suhu, lalu dia menjerit
ngeri. Aku sendiri lantas jatuh pingsan.”
“Saat itu Gak Put-kun sebenarnya hendak menambahi sekali bacok lagi padamu,” sambung Lo Tek-nau.
“Untung bagiku aku telah mengintip perbuatannya, di tempat sembunyi perlahan aku berdehem sehingga
membikin keder Gak Put-kun, lekas-lekas ia kembali ke kamarnya. Jadi suara dehemanku itulah yang
menyelamatkan jiwamu, kau tahu tidak, Lim-siauhiap?”
“Kalau Ayah benar bermaksud mencelakaimu, kesempatan selanjutnya kan cukup... cukup banyak, mengapa
beliau tidak turun tangan pula?” ujar Leng-sian.
“Hm, kemudian dengan sendirinya aku cukup waspada, sehingga tiada kesempatan turun tangan baginya,”
jengek Peng-ci. “Ada juga bantuanmu, setiap hari kau selalu berada bersamaku, sehingga membikin dia tidak
leluasa untuk membunuh diriku.”
“Kiranya... kiranya engkau menikah dengan aku hanya... hanya menggunakan diriku sebagai... sebagai tameng
belaka,” kata Leng-sian sambil menangis terguguk-guguk.
Peng-ci tidak pedulikan tangisan Leng-sian itu, ia berkata terhadap Lo Tek-nau, “Lo-heng, sejak kapan engkau
mengadakan hubungan dengan Co-ciangbun?”
“Co-ciangbun adalah Insu (guruku yang berbudi), aku adalah murid beliau yang ketiga,” jawab Tek-nau.
“O, kiranya kau telah ganti perguruan,” kata Peng-ci.
“Aku tidak ganti perguruan,” Tek-nau berkata. “Sejak dulu aku memang murid Ko-san-pay, hanya selama ini
aku ditugaskan Insu masuk ke Hoa-san-pay, tujuannya tiada lain adalah menyelidiki ilmu silat Gak Put-kun
serta gerak-gerik setiap orang Hoa-san-pay.”
Baru sekarang Lenghou Tiong paham persoalannya. Ketika Lo Tek-nau masuk Hoa-san-pay memang diketahui
sudah mahir ilmu silat, hanya yang diperlihatkan tampaknya adalah ilmu silat gado-gado dari berbagai
golongan, sama sekali tak terduga dia adalah murid pilihan Ko-san-pay. Rupanya memang sudah lama Co
Leng-tan merencanakan pencaplokan keempat aliran yang lain dan telah menaruh mata-matanya di mana
perlu, maka soal Lo Tek-nau membunuh Liok Tay-yu serta mencuri kitab Ci-he-sin-kang menjadi tidak perlu
diherankan lagi. Hanya saja orang cerdik sebagai gurunya itu, ternyata kena diselomoti Lo Tek-nau.
Dalam pada itu Lim Peng-ci sedang bicara, “O, kiranya begitu dan jasa Lo-heng tentu tidak kecil setelah
berhasil membawa kitab Ci-he-sin-kang dan Pi-sia-kiam-hoat ke Ko-san sehingga Co-ciangbun berhasil
meyakinkan ilmu sakti.”
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama mengangguk sependapat dengan ucapan Peng-ci itu, sebabnya Co Leng-tan
dan Lo Tek-nau dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat tentu begitulah adanya. Nyata otak Lim Peng-ci dapat
bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat itu.
Lo Tek-nau lantas menjawab, “Terus terang saja Saudara Lim, kita berdua, juga Insu kami telah sama-sama
ditipu oleh keparat Gak Put-kun itu. Orang ini benar-benar culas dan keji, kita sama-sama tertipu olehnya.”
“Ehm, aku paham,” ujar Peng-ci. “Tentu Pi-sia-kiam-boh yang dicuri Lo-heng itu adalah palsu yang sengaja
dibikin oleh Gak Put-kun, sebab itulah....”
“Kalau tidak begitu masakah pertandingan di Hong-sian-tay itu si bangsat Gak Put-kun mampu mengalahkan
guruku?” kata Lo Tek-nau dengan mengertak gigi. “Kiam-boh yang kuperoleh itu ternyata banyak yang kurang,
terutama... terutama bagian-bagian yang penting, sehingga kiam-hoat yang kami latih meski bagus, tapi tidak
mampu meyakinkan lwekang yang mengimbangi ilmu pedang yang hebat itu.”
“Tiada gunanya juga biarpun meyakinkan lwekang dari ilmu pedang itu,” ujar Lim Peng-ci dengan menghela
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
napas. Ia tahu bahwa Gak Put-kun telah sengaja mengurangi beberapa bagian yang merupakan kunci untuk
meyakinkan lwekang yang dapat mengimbangi Pi-sia-kiam-hoat itu, seperti bagian menyuruh kebiri lebih dulu
bila mau menjadi jago pedang nomor satu.
Bab 124. Gak Leng-sian Mati di Ujung Pedang Suami Sendiri
Begitulah dengan gemas Lo Tek-nau berkata pula, “Rupanya aku menyelundup ke dalam Hoa-san-pay sejak
awal sudah diketahui oleh Gak Put-kun, hanya dia pura-pura tidak tahu dan berbalik mengawasi tingkah
lakuku, dia sengaja membiarkan kiam-boh palsu dicuri olehku sehingga ilmu pedang yang diyakinkan guruku
jadinya tidak lengkap. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku memainkan
ilmu pedang itu untuk menghadapi ilmu pedang palsu yang tidak sempurna, dengan sendirinya dia pasti
menang. Kalau tidak, jabatan ketua Ngo-gak-pay mana bisa jatuh ke tangannya.”
“Ya, Gak Put-kun benar-benar culas dan licik, kita sama-sama telah terjeblos ke dalam perangkapnya,” kata
Peng-ci dengan menghela napas.
“Tapi guruku adalah seorang yang bijaksana, meski aku telah bikin runyam urusannya, namun tiada satu patah
kata pun dia tegur diriku,” tutur Tek-nau. “Namun sebagai murid dengan sendirinya hatiku tidak tenteram,
biarpun masuk lautan api atau naik gunung pisau juga aku akan berusaha membinasakan keparat Gak Put-kun
untuk membalas sakit hati Insu.”
Ucapan terakhir itu dilontarkan dengan tegas dan gemas, nyata sekali tidak kepalang rasa dendam kesumatnya
terhadap Gak Put-kun.
Peng-ci tidak menanggapi, ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang.
Maka Lo Tek-nau berkata pula, “Kedua mata Insu telah rusak, saat ini beliau tinggal menyepi di puncak barat
Ko-san bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Gak Put-kun dan Lenghou Tiong.
Bila Lim-siauhiap mau ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Pi-sia-kiam-bun dari Hokciu tentu Insu
akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak
dapat, tinggal saja di sana bersama Insu untuk sama-sama memikirkan cara-cara menuntut balas sakit hati
kita yang mahabesar ini, bukankah jalan ini paling baik?”
Tertarik juga hati Lim Peng-ci, ia pikir kedua matanya tentu sukar untuk bisa disembuhkan, tapi kalau bisa
berkumpul dengan orang-orang yang senasib yang sama-sama buta matanya tukar pikiran cara menuntut
balas, jalan ini memang paling baik. Cuma ia pun kenal pribadi Co Leng-tan, bila tiada maksud tujuan tertentu
mustahil mendadak begitu baik hati padanya. Maka ia lantas menjawab, “Maksud baik Co-ciangbun sungguh
aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Lo-heng dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap.”
Maksudnya bila pihak Lo Tek-nau ada tujuan apa-apa, hendaknya buka harga secara terus terang dan kalau
perlu boleh tawar-menawar.
Lo Tek-nau bergelak tertawa, katanya, “Lim-siauhiap ternyata orang yang suka berpikir secara terbuka, agar
kelak kita dapat bekerja sama lebih erat tentu akan kujelaskan secara terus terang. Soalnya aku mendapatkan
kiam-boh yang tidak sempurna dari Hoa-san, kami guru dan murid tertipu dengan sendirinya kami tidak rela.
Sepanjang jalan telah kusaksikan Lim-siauhiap memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat untuk
membunuh Bok Ko-hong, Ih Jong-hay, dan begundalnya sehingga musuh-musuhmu lari terbirit-birit, nyata
sekali engkau sudah memperoleh ajaran asli dari Pi-sia-kiam-hoat itu. Sungguh aku sangat kagum dan juga...
dan juga sangat mengiler....”
Peng-ci dapat menangkap maksud orang. Jawabnya kemudian, “Apakah maksud Lo-heng hendak minta aku
memperlihatkan kiam-boh asli kepada kalian?”
“Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar milik keluargamu itu,” kata Tek-nau. “Tapi hendaklah Limsiauhiap
maklum, dalam keadaan seperti Insu dan Lim-siauhiap sekarang terang tiada mampu membunuh
keparat Gak Put-kun itu kecuali kalau Insu dan aku dapat mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang asli.”
Sesungguhnya Peng-ci memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan mata buta itu.
Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lo Tek-nau akan gunakan kekerasan untuk membunuhnya dan
Leng-sian, dan kiam-boh akhirnya tetap akan terampas.
Tiba-tiba ia mendapat akal, segera berkata, “Co-ciangbun sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa
mendapat kehormatan besar. Sebabnya keluarga Lim kami hancur dan aku sampai menjadi cacat adalah garagara
perbuatan Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, tapi tipu muslihat yang dirancangkan Gak Put-kun terhitung pula
sebab-sebab pokok, maka keinginanku membunuh Gak Put-kun tiada ubahnya seperti kalian guru dan murid.
Maka kalau kita berserikat sudah tentu Pi-sia-kiam-hoat akan kuperlihatkan kepada kalian.”
Lo Tek-nau sangat senang, katanya, “Lim-siauhiap ternyata sangat berbaik hati, sungguh kami sangat
berterima kasih bila dapat melihat keaslian Pi-sia-kiam-boh, selanjutnya Lim-hengte akan menjadi kawan akrab
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sebagai saudara sendiri.”
“Terima kasih,” kata Peng-ci. “Sesudah kita sampai di Ko-san, segera Pi-sia-kiam-boh yang asli itu akan
kuuraikan seluruhnya di luar kepala.”
“Menguraikan di luar kepala?” Lo Tek-nau menegas.
“Ya,” jawab Peng-ci. “Hendaknya Lo-heng maklum bahwa kiam-boh asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada
sebuah kasa. Kasa itu telah diserobot oleh Gak Put-kun, dari situ dapatlah dia mencuri ilmu pedang keluargaku.
Tapi kemudian secara kebetulan sekali kasa itu jatuh kembali ke tanganku. Karena kukhawatir diketahui oleh
Gak Put-kun, maka aku telah menghafalkan isi kiam-boh itu di luar kepala, lalu kasa itu kumusnahkan. Bila
kusimpan kasa itu, sedangkan aku selalu didampingi seorang istri setia begini, apakah mungkin aku dapat
hidup sampai sekarang?”
Sejak tadi Gak Leng-sian hanya mendengarkan saja tanpa bicara, kini mendengar sindiran itu, kembali ia
menangis sedih, katanya dengan terguguk, “Kau... kau kenapa....”
Namun ia tidak sanggup melanjutkan pula.
Karena Lo Tek-nau tadi sembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lim Peng-ci dan Gak
Leng-sian, ia percaya apa yang dikatakan Peng-ci itu memang bukan olok-olok belaka, segera ia berkata,
“Baiklah, apakah sekarang juga kita lantas berangkat ke Ko-san?”
Tanpa pikir lagi Peng-ci mengiakan.
“Kita harus membuang kereta dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil,” kata Lo Tek-nau. “Sebab
kita bukan tandingannya.”
Lalu ia berpaling kepada Gak Leng-sian dan bertanya, “Siausumoay, kau akan membantu ayah atau membantu
suami?”
“Aku tidak membantu siapa pun juga!” sahut Leng-sian tegas. “Aku... aku memang bernasib buruk, besok juga
aku akan cukur rambut dan meninggalkan rumah, apakah dia ayah atau dia suami, selanjutnya aku takkan
berjumpa lagi dengan mereka.”
“Jika kau menjadi nikoh ke Hing-san, di situ memang tepat tempatnya bagimu,” kata Peng-ci.
“Lim Peng-ci!” teriak Leng-sian dengan gusar. “Apakah kau sudah lupa? Dahulu kau hampir mampus, kalau
tidak ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Bok Ko-hong, mana kau dapat hidup sampai saat
ini? Seumpama ayahku berbuat sesuatu kesalahan, aku Gak Leng-sian toh tidak berbuat sesuatu yang tidak
betul padamu? Apakah artinya kau berkata demikian itu?”
“Apa artinya? Aku cuma ingin membuktikan tekadku kepada Co-ciangbun,” sahut Peng-ci suaranya bengis
buas.
Menyusul itu, sekonyong-konyong terdengar Leng-sian menjerit ngeri, agaknya telah mengalami kecelakaan.
Tanpa pikir Lenghou Tiong dan Ing-ing melompat keluar dari tempat sembunyinya. Berbareng Lenghou Tiong
berteriak, “Lim Peng-ci, jangan mencelakai Siausumoay!”
Dalam keadaan menyamar, di tengah malam pula, sebenarnya Lo Tek-nau mengenalnya. Keruan kagetnya
setengah mati, hampir-hampir sukmanya meninggalkan raganya.
Saat ini yang paling ditakuti Lo Tek-nau hanya Gak Put-kun dan Lenghou Tiong berdua. Maka tanpa pikir lagi
segera ia cengkeram bahu Lim Peng-ci terus mencemplak seekor kuda tinggalan orang Jing-sia-pay tadi dan
segera dilarikan sekencang-kencangnya.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Gak Leng-sian, Lenghou Tiong tidak sempat berpikir untuk mengejar
musuh. Dilihatnya Leng-sian menggeletak di tempat kusir di atas kereta, dadanya tertancap sebatang pedang,
ketika diperiksa pernapasannya keadaannya sudah payah, lemah sekali denyut nadinya.
“Siausumoay! Siausumoay!” Lenghou Tiong berseru.
“Apakah... apakah Toasuko?” jawab Leng-sian lemah.
“Ya... ya, aku!” seru Lenghou Tiong kegirangan.
Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Leng-sian itu, tapi Ing-ing keburu
mencegahnya. Hampir separuh mata pedang itu masuk dalam tubuh Leng-sian, kalau pedang dicabut pasti
akan mempercepat kematiannya, terang Leng-sian sukar diselamatkan lagi, Lenghou Tiong menjadi berduka,
serunya sambil menangis, “Siau... Siausumoay!”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Toasuko, engkau berada di sampingku, sungguh baik sekali,” kata Leng-sian dengan suara lemah. “Adik Peng,
apakah... apakah dia sudah pergi?”
“Jangan khawatir, aku pasti membunuh dia untuk membalas sakit hatimu,” kata Lenghou Tiong dengan
geregetan.
“Tidak, jangan!” kata Leng-sian. “Matanya sudah buta, hendak kau bunuh dia, tentu dia tidak sanggup
melawan. Aku... aku ingin kembali ke tempat Ibu.”
“Baik, akan kubawa kau menemui Sunio,” kata Lenghou Tiong.
Melihat keadaan Leng-sian yang semakin payah itu, terang jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa
terasa Ing-ing juga mengucurkan air mata.
“Toasuko,” kata Leng-sian pula dengan lemah, “engkau selalu sangat baik padaku, tapi aku... aku bersalah
padamu. Aku... akan meninggal dengan segera. Aku ingin mohon se... sesuatu padamu, hendaknya kau
dapat... dapat meluluskan permintaanku ini.”
“Kau takkan meninggal, aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Lenghou Tiong. “Silakan bicara, aku pasti
akan memenuhi permintaanmu.”
“Tetapi... tapi engkau tentu tak dapat menerima, hal ini akan membikin engkau pen... penasaran....” suaranya
makin lirih, napasnya juga makin lemah.
“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Lenghou Tiong.
“Toasuko, suamiku... Adik Peng, dia... dia sudah buta, kas... kasihan dia,” kata Leng-sian dengan terputusputus.
“Dia sebatang kara di dunia ini, semua... semua orang me... memusuhi dia. Toasuko... sesudah aku
mati, harap... harap engkau menjaga baik-baik dia, jangan... jangan sampai dia dianiaya orang lagi....”
Lenghou Tiong melengak, sama sekali tak terduga bahwa Gak Leng-sian yang sudah dekat ajalnya itu tetap
tidak melupakan cintanya terhadap Lim Peng-ci, suami yang tega membunuh istri sendiri itu. Padahal kalau
bisa Lenghou Tiong ingin membekuk Peng-ci pada saat itu juga untuk mencencangnya hingga hancur luluh,
kelak tidak mungkin pula dia mau mengampuni jiwa manusia rendah itu, mana dia mau menerima permintaan
Leng-sian itu agar menjaganya malah?
Maka dengan gusar Lenghou Tiong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak
berbudi itu, mengapa... mengapa kau masih memikirkan dia?”
“Toasuko,” kata Leng-sian, “dia... dia tidak sengaja hendak membunuh aku, hanya... karena takut pada Ayah,
dia terpaksa... terpaksa memihak Co Leng-tan dan aku... aku ditusuknya sekali... Toasuko, aku mohon...
mohon padamu... agar men... menjaga dia dengan baik....”
Di bawah cahaya rembulan, wajah Leng-sian tampak rada pucat, sinar matanya guram, namun penuh
memperlihatkan rasa memohon. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Leng-sian belum pernah
ditolak oleh Lenghou Tiong, apalagi permintaan Leng-sian sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang
ajalnya, permintaan yang terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.
Sesaat itu darah dalam rongga dada Lenghou Tiong menjadi bergolak. Ia tahu sekali terima permintaan Lengsian
itu, maka selanjutnya pasti akan banyak akibatnya dan mungkin akan banyak pula memaksa dirinya
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Tapi menghadapi wajah dan suara Leng-sian yang penuh rasa memohon itu, Lenghou Tiong tidak tega untuk
menolak, segera ia mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu, jangan khawatir!”
Mendengar itu, tanpa terasa Ing-ing mencela, “Mana... mana boleh kau menerimanya!”
Dengan kencang Leng-sian menggenggam tangan Lenghou Tiong, katanya, “Toasuko, banyak... banyak terima
kasih... aku tak perlu... tak perlu khawatir lagi....”
Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum penuh tanda merasa puas.
Lenghou Tiong juga merasa puas melihat kegembiraan Leng-sian itu, ia merasa cukup berharga biarpun kelak
harus menghadapi kesulitan-kesulitan mahabesar.
Tapi mendadak terdengar Leng-sian berdendang perlahan. Seketika dada Lenghou Tiong seperti digodam,
sebab didengarnya lagu yang dinyanyikan Leng-sian itu kiranya adalah lagu rakyat daerah Hokkian, jelas lagu
ajaran Lim Peng-ci yang berasal dari Hokkian itu.
Dahulu ketika Lenghou Tiong dihukum kurung di puncak Hoa-san, perasaannya sangat pedih ketika mendengar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Leng-sian menyanyikan lagu daerah itu. Kini kembali Leng-sian menyanyi pula, terang sedang mengenangkan
masa percintaannya dengan Peng-ci di Hoa-san dahulu. Suara Leng-sian melemah, tangannya yang
menggenggam tangan Lenghou Tiong juga makin kendur dan akhirnya terbuka, mata perlahan terpejam,
nyanyian berhenti napasnya juga lantas putus.
Hati Lenghou Tiong serasa mendelong, seketika dunia seakan-akan runtuh saat itu, ia ingin menangis keraskeras,
tapi tak dapat bersuara. Ia peluk tubuh Leng-sian yang sudah tak bernyawa itu dan bergumam perlahan,
“Siausumoay, jangan khawatir, Siausumoay! Akan kubawa kau ke tempat ibumu, pasti tiada seorang pun yang
berani memusuhimu.”
Ing-ing melihat punggung Lenghou Tiong basah kuyup dengan darah, terang lukanya kambuh lagi, tapi dalam
keadaan demikian ia tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.
Sambil memondong jenazah Leng-sian, dengan sempoyongan Lenghou Tiong melangkah ke depan sembari
menggumam, “Jangan khawatir Siausumoay, akan kubawa kau kepada ibumu!”
Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan terguling lalu tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara nyaring kecapi yang membikin
pikirannya menjadi segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang, kedengaran lagunya sudah dikenalnya
dan enak sekali rasanya. Seluruh tubuh terasa tak bertenaga sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk
membukanya, ia berharap akan senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi itu tanpa berhenti.
Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Selang tak lama, sayup-sayup
Lenghou Tiong kembali terpulas lagi.
Ketika untuk kedua kalinya ia mendusin, telinganya tetap mendengar suara nyaring kecapi yang merdu,
malahan hidung mengendus bau harum bunga yang semerbak. Waktu ia membuka mata, di depannya penuh
bunga beraneka warna, Ing-ing sedang menabuh kecapi membawakan lagu “Penenang Jiwa”, agaknya dirinya
terbaring dalam sebuah gua.
Segera ia bermaksud bangun duduk, tapi Ing-ing keburu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira
penuh rasa kasih sayang. Sesaat itu Lenghou Tiong merasa sangat bahagia, ia tahu Ing-ing yang membawanya
ke gua ini ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian siausumoaynya yang mengenaskan itu. Kembali
hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ing-ing yang lembut mesra itu ia merasa terhibur, kedua
orang saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengelus tangan Ing-ing, tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu terendus pula bau
sedap daging panggang. Ing-ing lantas angkat setangkai kayu, di atas tangkai itu tersunduk beberapa ekor
kodok panggang.
“Kembali hangus!” katanya dengan tersenyum.
Lenghou Tiong bergelak tertawa teringat kepada kejadian dahulu ketika mereka juga makan kodok panggang di
tepi sungai. Makan kodok dua kali, tapi dalam waktu sekian lama itu telah banyak mengalami macam-macam
kejadian, namun mereka berdua masih tetap berkumpul menjadi satu.
Sejenak kemudian Lenghou Tiong menjadi berduka pula teringat kepada Gak Leng-sian. Ing-ing memayangnya
bangun, katanya sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua, “Di situlah Nona Sian beristirahat untuk
selamanya.”
“Banyak... banyak terima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong dengan menahan air mata. Dalam hati ia pun
merasa rikuh, lalu sambungnya pula, “Ing-ing, aku terkenang kepada Siausumoay, hendaklah engkau jangan
marah.”
“Sudah tentu aku takkan marah, masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan punya suka-duka
pula,” jawab Ing-ing.
Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Dahulu ketika aku mula-mula jatuh hati padamu justru disebabkan
uraianmu tentang cintamu terhadap siausumoaymu. Bila engkau seorang pemuda yang beriman tipis dan tak
berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu. Sebenarnya... sebenarnya Nona Sian adalah seorang nona yang
baik, cuma saja dia tidak... tidak ada jodoh denganmu. Jika engkau tidak dibesarkan bersama dia sedari kecil,
besar kemungkinan sekali lihat dia akan suka padamu.”
“Tak mungkin,” sahut Lenghou Tiong setelah merenung sejenak. “Siausumoay paling kagum terhadap Suhu,
lelaki yang dia suka harus pendiam dan kereng seperti ayahnya itu. Aku hanya bermain baginya, selamanya dia
tidak... tidak menghargai diriku.”
“Mungkin kau benar. Lim Peng-ci justru mirip gurumu, tampaknya prihatin, tapi jiwanya justru begitu kotor.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Tapi pada saat terakhir Siausumoay tetap tidak percaya Lim Peng-ci benar-benar mau membunuhnya, dia
masih tetap mencintai Peng-ci sepenuh hati. Tapi juga ada... ada baiknya, dia tidak meninggal dalam
kedukaan. Ya, aku ingin melihat kuburannya.”
Segera Ing-ing memayangnya keluar gua. Tertampak kuburan itu bagian atas ditumpuki batu dengan rajin,
suatu tanda Ing-ing tidak sembarangan menguburkan Gak Leng-sian. Diam-diam Lenghou Tiong sangat
berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipapas
tangkai dan daunnya, pada kulit dahan pohon terukir tulisan, “Tempat istirahat Hoa-san-lihiap, Nona Gak Lengsian.”
Kembali Lenghou Tiong mencucurkan air mata, katanya sedih, “Mungkin Siausumoay lebih suka dipanggil
Nyonya Lim.”
“Manusia tak berbudi seperti Lim Peng-ci itu, kalau Nona Gak tahu di alam baka pasti takkan sudi menjadi
nyonyanya,” ujar Ing-ing. Dalam hati ia membatin, “Sayang engkau tidak tahu bahwa dia dan Lim Peng-ci
hanya resminya saja suami-istri, tapi praktiknya tidak.”
Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah
dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi, suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu
tempat yang sangat permai.
“Biarlah kita tinggal sementara di sini, sambil menyembuhkan lukamu, dapat pula kita menemani kuburan
Nona Gak,” kata Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan dengan senang.
Begitulah mereka lantas tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Lenghou
Tiong hanya terluka luar saja, hanya belasan hari saja lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya. Setiap hari
Ing-ing mengajarkan dia menabuh kecapi, dasarnya Lenghou Tiong memang pintar, ia belajar dengan tekun
pula, maka kemajuannya cukup pesat.
Beberapa hari pula, satu pagi ketika Lenghou Tiong bangun, dilihatnya kuburan Gak Leng-sian telah tumbuh
tunas rumput yang hijau. Hati Lenghou Tiong kembali berduka menghadapi kuburan siausumoaynya itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruling yang merdu, cepat ia menoleh, dilihatnya Ing-ing sedang meniup
seruling dengan duduk di atas batu padas. Lagu yang dibawakannya adalah “Penenang Jiwa” yang sering
dibunyikannya sejak dahulu. Ia coba mendekati si nona, dilihatnya seruling itu terbikin dari bambu yang masih
baru, terang baru saja Ing-ing membuatnya.
Segera ia pun memangku kecapi dan mulai menabuhnya mengikuti irama seruling Ing-ing. Selesai
membawakan satu lagi, semangat terasa banyak lebih segar. Kedua orang saling pandang dengan tertawa.
“Bagaimana kalau kita berlatih lagi ‘Hina Kelana’ mulai sekarang?” kata Ing-ing.
“Lagu ini sangat sukar, entah kapan aku baru dapat menyamaimu,” ujar Lenghou Tiong. “Dahulu aku pernah
mendengar lagu ini dibawakan oleh Lau-susiok dari Heng-san-pay dan Kik-tianglo dari Tiau-yang-sin-kau
kalian, yang satu meniup seruling dan yang lain menabuh kecapi, paduan suara seruling dan kecapi sungguh
sangat enak didengar. Menurut Lau-susiok, lagu ‘Hina Kelana’ memang digubah dengan paduan suara seruling
dan kecapi.”
“Ya, engkau menabuh kecapi dan aku meniup seruling, kita mulai berlatih secara perlahan, latihan dua orang
bersama tentu akan lebih cepat maju daripada latihan sendirian,” kata Ing-ing.
Begitulah belasan hari selanjutnya mereka lantas tekun berlatih menabuh kecapi dan meniup seruling di tengah
lembah indah itu, untuk sementara mereka terlupa kepada sinar pedang dan bayangan darah di dunia Kangouw.
Kedua orang sama-sama merasa kalau dapat hidup berdampingan di lembah itu hingga hari tua, maka
rasanya tak kecewalah hidup mereka ini.
Akan tetapi kejadian di dunia ini memang sering bertentangan dengan harapan manusia.
Suatu hari lewat tengah hari, setelah Lenghou Tiong berlatih sekian lamanya dengan Ing-ing, tiba-tiba ia
merasa pikiran kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya salah petik.
“Tentu engkau lelah, silakan mengaso saja dulu,” ujar Ing-ing.
“Lelah sih tidak, entah mengapa, pikiran tidak tenteram,” kata Lenghou Tiong. “Biar kupergi petik buah tho,
petang nanti kita berlatih lagi.”
“Baiklah cuma jangan terlalu jauh,” kata Ing-ing.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong tahu di sebelah timur lembah itu banyak tumbuh pepohonan tho, waktu itu adalah musimnya,
segera ia menuju ke sana. Kira-kira sepuluhan li jauhnya, benarlah di depan terbentang hutan tho yang lebat
dengan buahnya yang sudah merah.
Tanpa pikir lagi ia terus memetik buah-buah itu sampai ratusan. Pikirnya, “Kalau biji buah tho ini kelak tumbuh
pula menjadi pohon, tentu lembah ini akan penuh pohon tho dan jadilah sebuah tho-kok (lembah tho), dan aku
dan Ing-ing bukankah akan berubah menjadi Tho-kok-ji-sian? Kelak kalau Ing-ing juga melahirkan enam anak
laki-laki, kan mereka akan menjadi Tho-kok-lak-sian cilik?”
Teringat kepada Tho-kok-lak-sian, ia menjadi tertawa geli sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara keresak-keresek, suara orang berjalan. Ia terkejut
dan cepat mendekam ke bawah. Pikirnya, “Aneh, di lembah sunyi ini kenapa ada orang? Jangan-jangan yang
dituju adalah aku dan Ing-ing?”
Selang sejenak, sayup-sayup didengarnya suara seorang sedang berkata, “Apakah kau tidak keliru? Apakah
benar keparat Gak Put-kun itu menuju ke sini?”
Lalu terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Su-hiangcu, katanya putri Gak Put-kun
mendadak menghilang di sekitar sini, di tempat lain sama sekali tidak tampak jejak anak dara itu, maka dapat
dipastikan anak dara itu bersembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya. Dapat diduga pula siang atau
malam Gak Put-kun pasti akan mencarinya ke sini.”
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincar jejak Gak Put-kun. Ia menjadi
berduka pula. Pikirnya, “Kiranya mereka mengetahui Siausumoay terluka, tapi tidak tahu bahwa dia sudah
meninggal. Selama sebulan ini aku dan Ing-ing hidup tenteram di sini, sebaliknya Siausumoay tentu sedang
dicari orang banyak, terutama Suhu dan Sunio.”
Lalu terdengar suara orang tua pertama tadi berkata pula, “Jika dugaanmu tidak salah dan Gak Put-kun benarbenar
akan datang, maka kita perlu pasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”
Orang kedua yang bersuara rada serak menjawab, “Seumpama Gak Put-kun tidak segera datang, setelah kita
atur seperlunya tentu juga akan dapat memancing kedatangannya.”
“Akalmu sungguh hebat Sik-hengte, bila usaha kita berhasil, tentu akan kulaporkan Kaucu dan kau akan segera
naik pangkat,” kata orang tua yang pertama.
“Terima kasih, Kat-tianglo, segala sesuatu masih diharapkan bantuanmu,” jawab orang kedua.
Tahulah Lenghou Tiong sekarang, kiranya orang-orang itu adalah anggota Tiau-yang-sin-kau dan berarti anak
buah Ing-ing pula. Pikirnya, “Betapa pun tinggi kepandaian mereka mana dapat melawan kepandaian Suhu
sekarang? Paling baik kalau mereka saling hantam asalkan tidak mengganggu ketenteraman kami.”
Segera terpikir pula olehnya, “Suhu adalah orang mahacerdik, masakah orang-orang macam kalian ini juga
mampu menjebak suhuku? Sungguh terlalu tidak tahu diri.”
Pada saat lain, tiba-tiba dari jauh ada suara tepukan tangan tiga kali. Orang she Sik lantas berkata, “Tohtianglo
dan lain-lain sudah tiba pula.”
Segera orang yang dipanggil Kat-tianglo tadi membalas tiga kali tepukan tangan. Lalu terdengar suara langkah
kaki yang ramai, empat orang berlari datang dengan cepat. Dua orang di antaranya rada ketinggalan, agaknya
ginkang mereka lebih rendah. Tapi sesudah dekat, Lenghou Tiong lantas dapat mendengar bahwa kedua orang
yang rada ketinggalan itu disebabkan mereka menggotong sesuatu benda berat.
Dengan girang Kat-tianglo lantas berseru, “He, Toh-laute berhasil menangkap anak dara keluarga Gak itu
kiranya? Sungguh tidak kecil jasamu ini!”
Lalu terdengar seorang bersuara lantang menjawab, “Orang keluarga Gak sih memang benar, cuma bukan
anak daranya melainkan babonnya, biangnya!”
“He!” terdengar Kat-tianglo bersuara kejut-kejut girang. “Jadi bininya Gak Put-kun yang kena kau tangkap?”
Bab 125. Kelicikan Gak Put-kun yang Memalukan
Mendengar orang yang ditawan gembong-gembong Mo-kau itu adalah ibu gurunya, sungguh kejut Lenghou
Tiong tak terkatakan, segera ia bermaksud menerjang ke luar untuk menolongnya. Tapi segera ia ingat dirinya
tidak membawa pedang, tanpa pedang kepandaiannya sukar menandingi tokoh-tokoh sebagai Kat-tianglo dan
kawan-kawannya itu. Karena itu ia menjadi cemas.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Kemudian terdengar Kat-tianglo bertanya pula, “Ilmu pedang Nyonya Gak itu cukup lihai, cara bagaimana
Saudara Toh menangkapnya? Ah, tahulah aku, pakai obat, bukan?”
Toh-tianglo tertawa, jawabnya, “Perempuan ini masuk sebuah hotel dalam keadaan seperti orang linglung,
tanpa pikir ia terus makan minum. Orang suka memuji betapa hebat bininya Gak Put-kun, nyatanya juga orang
ceroboh begini.”
Diam-diam Lenghou Tiong sangat gusar karena ibu gurunya dihina, ia pikir sebentar akan kubinasakan semua.
Cuma saja tidak membawa senjata, kalau dapat merampas sebatang pedang segala urusan tentu akan dapat
dibereskan.
Terdengar pula Kat-tianglo berkata, “Setelah bini Gak Put-kun kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah
diselesaikan. Saudara Toh, persoalan sekarang adalah cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini.”
“Lalu bagaimana bila dia sudah terpancing kemari?” tanya Toh-tianglo.
Kat-tianglo merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan bininya sebagai sandera dan paksa dia
menyerah. Suami-istri Gak Put-kun terkenal sangat rukun dan baik, tentu dia tak berani membangkang.”
“Benar juga Saudara Kat,” kata Toh-tianglo. “Khawatirnya kalau Gak Put-kun itu berhati kejam, cintanya
kepada sang istri tidak mendalam, tidak setia pula, maka bagi kita menjadi rada runyam.”
“Ya, ini memang... memang... Eh, eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Sih?” tanya Kat-tianglo tiba-tiba.
“Di hadapan kedua Tianglo, Cayhe merasa tidak hak bicara dan terserah saja,” sahut orang she Sih.
Sampai di sini, tiba-tiba dari arah barat sana ada suara orang bertepuk tangan tiga kali, dari suara tepukan
tangan yang berkumandang hingga jauh itu dapat dipastikan lwekang orang itu pasti tidak rendah.
“Ah, Pau-tianglo sudah datang,” ujar Toh-tianglo.
Dalam sekejap saja tertampak dua orang berlari datang dari jurusan barat sana dengan cepat luar biasa.
“Eh, Bok-tianglo juga ikut datang,” kata Kat-tianglo.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. Tampaknya kedua orang yang baru datang ini berkepandaian lebih tinggi
daripada Kat dan Toh-tianglo. Kalau bersenjata tentulah tidak perlu gentar, tapi bertangan kosong, inilah yang
susah.
Dalam pada itu terdengar Kat-tianglo sedang menyambut kedatangan kedua kawannya, “Selamat datang Pau,
Bok-tianglo. Saudara Toh telah berjasa besar, dia berhasil membekuk istri Gak Put-kun.”
“Wah, bagus! Selamat! Selamat!” kata seorang tua di antaranya dengan girang.
Lenghou Tiong merasa suara satu-dua gembong Mo-kau itu seperti sudah dikenalnya, ia pikir barangkali
dikenal ketika di Hek-bok-keh dahulu.
Dengan lwekang Lenghou Tiong yang tinggi ia dapat mendengar jelas suara percakapan orang-orang itu, cuma
dia tidak berani melongok untuk mengintip. Ia tahu orang-orang itu adalah gembong-gembong Mo-kau yang
lihai, sedikit bersuara saja pasti akan ketahuan.
Sementara itu Kat-tianglo lagi berkata, “Pau dan Bok-tianglo, kami di sini sedang berunding cara bagaimana
memancing Gak Put-kun ke sini agar kita dapat menawannya.”
“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang tianglo yang baru datang itu. Dari suaranya yang berwibawa
itu dapat diduga tentu Pau-tianglo adanya. Suara Pau-tianglo inilah yang dirasakan sudah dikenal baik oleh
Lenghou Tiong.
“Seketika kami masih belum mendapatkan akal yang bagus,” ujar Kat-tianglo. “Tapi dengan tibanya Pau dan
Bok-tianglo, tentu akan diperoleh akal baik. Kabarnya dia telah membutakan kedua mata Co Leng-tan dengan
ilmu pedangnya yang hebat sehingga menjagoi kalangan pertandingan di Ko-san tempo hari. Konon dia telah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
memperoleh Pi-sia-kiam-hoat asli dari keluarga Lim, maka jangan kita memandang enteng padanya. Sebaiknya
kita mencari suatu jalan yang sempurna untuk menghadapinya.”
“Ya, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu akan kalah, tapi juga belum tentu dapat menang,”
ujar Toh-tianglo.
“Kukira Pau-tianglo tentu sudah punya perhitungan, silakan katakan saja,” ujar Bok-tianglo.
“Mesti aku sudah memperoleh suatu akal, tapi hanya akal biasa saja, mungkin akan ditertawai kalian,” kata
Pau-tianglo.
“Pau-tianglo terkenal sebagai gudang akal Tiau-yang-sin-kau kita, buah pikiranmu pasti sangat baik,” seru Bok,
Kat, dan Toh-tianglo berbareng.
“Akalku ini sebenarnya suatu cara yang bodoh,” ujar Pau-tianglo. “Kita gali saja suatu liang yang dalam, di
atasnya ditutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak kelihatan sesuatu tanda apa-apa, lalu kita
tutuk hiat-to penting perempuan ini dan menaruhnya di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Gak
Put-kun. Bila dilihatnya sang bini menggeletak di situ, tentu dia akan berlari-lari datang menolongnya dan...
blong... auuuh....” sambil bicara ia pun bergaya seperti orang kejeblos ke dalam lubang, maka tertawalah
ketiga tianglo tadi dan lain-lain.
“Akal Pau-tianglo sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat sembunyi di tepi liang jebakan itu, begitu Gak
Put-kun kejeblos, serentak empat senjata kita menutup rapat mulut lubang sehingga tiada memberi
kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Bok-tianglo dengan tertawa.
“Ya, namun dalam hal ini masih ada kesukaran juga,” ujar Pau-tianglo.
“Kesukaran?” Bok-tianglo menegas. “Ah, benar, tentu Pau-heng khawatir ilmu pedang Gak Put-kun itu terlalu
aneh, sesudah kejeblos ke dalam lubang masih sukar bagi kita untuk membekuk dia?”
“Dugaan Bok-heng memang tepat,” kata Pau-tianglo. “Sekali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Kaucu
adalah menghadapi tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang baru bergabung itu, mati atau hidup kita sukar
diperhitungkan. Bila kita dapat gugur bagi tugas adalah sesuatu yang gemilang, hanya saja nama baik dan
kewibawaan Kaucu yang akan kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya
kita masih perlu menambahkan sedikit apa-apa.”
“Aha, ucapan Pau-tianglo benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Toh-tianglo. “Aku membawa ‘Pekhoa-
siau-hun-san’ (Bubuk Penghilang Ingatan) dalam jumlah cukup, boleh kita tebarkan bubuk ini di antara
daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Gak Put-kun kejeblos, tentu dia akan menarik
napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi... hahaha....” sampai di sini kembali
mereka bergelak tertawa bersama.
“Nah, urusan jangan ditunda, silakan lekas atur seperlunya,” kata Pau-tianglo. “Di mana sebaiknya lubang
jebakan itu digali?”
“Dari sini ke barat, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya, sebelahnya jurang yang
curam, sebelah lain adalah dinding tebing yang tinggi. Bila Gak Put-kun benar-benar datang kemari, tak bisa
tidak dia harus melalui jalan itu.”
“Bagus, marilah kita meninjau ke sana,” ajak Pau-tianglo sambil mendahului melangkah pergi, segera orangorang
lain mengikut di belakangnya.
Lenghou Tiong pikir untuk menggali lubang jebakan tentu takkan dapat diselesaikan mereka dalam waktu
singkat, sebaiknya aku lekas pergi memberitahukan Ing-ing, setelah ambil pedang akan kukembali ke sini
untuk menolong Sunio.
Begitulah setelah gembong-gembong Mo-kau itu sudah pergi jauh, segera ia memutar balik ke arah datangnya
tadi. Beberapa li jauhnya, tiba-tiba didengarnya suara keletak-keletuk, suara menggali tanah. “Kiranya di
sinilah lubang jebakan yang akan mereka gali itu,” demikian ia membatin.
Segera Lenghou Tiong sembunyi di balik pohon, ia coba mengintip ke sana. Benarlah empat anggota Mo-kau
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
sedang sibuk menggali tanah. Kini jaraknya sudah dekat, seorang dapat dilihatnya dari arah samping, ia
menjadi terkejut. Kiranya orang ini adalah Pau Tay-coh yang pernah dikenalnya di Bwe-cheng di tepi Se-ouw,
Hangciu, dahulu. Pantas mereka memanggilnya Pau-tianglo, kiranya adalah Pau Tay-coh.
Dahulu Lenghou Tiong telah menyaksikan Pau Tay-coh membereskan Ui Ciong-kong dengan sekali hantam
saja, ilmu silatnya sangat tinggi. Memang Pau Tay-coh merupakan tandingan yang kuat bagi Gak Put-kun,
sungguh pilihan yang tepat cara Yim Ngo-heng mengirimkan jagonya.
Cara orang-orang Mo-kau itu menggali tanah juga rada aneh. Mereka tidak membawa pacul atau sekop dan
sebagainya, maka senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya lantas digunakan sebagai
penggali. Lebih dulu mereka mendongkel tanah, lalu dengan tangan mereka mengorek tanah yang sudah
gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu, tapi dasar ilmu silat mereka tinggi, tenaga mereka kuat,
maka hasil galian mereka pun cukup cepat.
Lantaran jalan yang harus dilaluinya terhalang oleh galian tanah orang-orang Mo-kau itu, terpaksa Lenghou
Tiong tak dapat lewat ke sana untuk mengambil pedang dan mencari Ing-ing. Ia heran, sudah jelas mereka
mengatakan akan menggali lubang di tepi tebing yang curam sana, mengapa sekarang ganti tempat? Tapi
segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya jalan di pinggir tebing itu batu-batu padas belaka, dengan
sendirinya sukar menggali lubang di sana. Rupanya Kat-tianglo itu tidak punya otak dan cuma sembarangan
omong saja.
Dalam pada itu didengarnya suara Kat-tianglo sedang berkata dengan tertawa, “Usia Gak Put-kun itu sudah
lanjut, tapi bininya ternyata masih begini muda dan cantik pula.”
“Muda kau bilang? Kutaksir sudah lebih 40,” Toh-tianglo menanggapi dengan cengar-cengir. “Eh, kalau Katheng
ada minat, nanti bila Gak Put-kun sudah kita bekuk, biarlah kita laporkan Kaucu dan boleh kau ambil
perempuannya?”
“Mengambilnya sih tidak perlu, untuk main-main saja kukira masih boleh juga,” kata Kat-tianglo dengan
tertawa.
Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, ia pikir kawanan anjing yang berani menghina ibu guru ini nanti pasti
akan kubinasakan satu per satu.
Lantaran suara tertawa Kat-tianglo itu kedengaran sangat menjijikkan, tanpa terasa Lenghou Tiong melongok
untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata Kat-tianglo itu sedang mencubit sekali di pipi Gak-hujin.
Rupanya Gak-hujin tidak mampu bergerak berhubung hiat-to tertutuk, maka orang-orang Mo-kau itu serentak
tertawa gembira.
“Wah, tampaknya, Kat-heng sudah tidak sabar lagi, apakah kau berani ‘bereskan’ perempuan ini di sini juga?”
kata Toh-tianglo dengan tertawa.
Dengan murka seketika Lenghou Tiong bermaksud menerjang keluar tanpa peduli diri sendiri tak bersenjata.
Tapi lantas terdengar Kat-tianglo menjawab, “Kenapa tidak berani? Soalnya aku khawatir menggagalkan tugas
yang dibebankan Kaucu kepada kita.”
“Ya, memang,” ujar Pau Tay-coh dengan nada dingin. “Sekarang Kat-tianglo dan Toh-tianglo silakan pergi
memancing kedatangan Gak Put-kun, diperkirakan satu jam lagi segala sesuatu di sini sudah selesai diatur.”
Berbareng Kat-tianglo dan Toh-tianglo mengiakan. Lalu mereka berlari ke jurusan utara.
Kepergian kedua orang itu membikin suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya
suara tanah digali saja, terkadang suara Bok-tianglo yang memberi petunjuk ini dan itu.
Lenghou Tiong tidak berani bergerak di tempat sembunyinya di tengah semak-semak rumput. Ia pikir Ing-ing
tentu akan khawatir bila sampai sekian lamanya dirinya tidak kembali. Kalau Ing-ing menyusul kemari, tentu
dia dapat menyelamatkan Sunio, sebab orang-orang Mo-kau ini tentu akan tunduk kepada perintah tuan putri
mereka. Dengan demikian dirinya juga terhindar dari pertarungan dengan gembong-gembong Mo-kau. Berpikir
sampai di sini, ia merasa makin lama tertahan di situ menjadi lebih baik malah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tidak lama, didengarnya orang-orang Mo-kau itu sudah selesai menggali, di atas lubang galian mulai dipasangi
ranting kayu dan rumput, ditaburi pula bubuk racun, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Pau
Tay-coh berenam lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan
kedatangan Gak Put-kun.
Lenghou Tiong mengincar baik-baik sepotong batu di sebelahnya dan telah ambil keputusan tetap bila nanti
sang suhu tampaknya akan kejeblos lubang jebakan, segera ia akan melemparkan batu besar itu ke lubang itu,
dengan demikian gurunya tentu takkan masuk perangkap musuh.
Begitulah, dalam suasana sunyi baik Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan begundalnya sama pasang
kuping untuk mendengarkan kalau ada suara lari Gak Put-kun yang sedang mengejar Kat dan Toh-tianglo
berdua.
Agak lama kemudian, di tempat jauh tiba-tiba terdengar suara jeritan orang satu kali, tapi bukan suara orang
lelaki melainkan suara orang perempuan, jelas Lenghou Tiong mengenali itulah suaranya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjadi serbabingung, entah jeritan Ing-ing itu disebabkan kepergok Gak Put-kun atau kaget
bertemu dengan Kat-tianglo berdua?
Tidak lama lantas terdengar suara orang berlari mendatangi, satu di depan dan seorang lagi di belakang.
Terdengar suara Ing-ing sedang berteriak, “Engkoh Tiong, gurumu hendak membunuh kau, jangan kau keluar!”
Lenghou Tiong terkejut, ia tidak paham mengapa gurunya hendak membunuhnya?
Dalam pada itu Ing-ing lagi berteriak-teriak pula, “Engkoh Tiong, lekas lari kau, gurumu hendak membunuh
kau!”
Lalu muncullah nona itu dalam keadaan rambut kusut masai, tangan menghunus pedang, tapi berlari-lari
ketakutan dikejar Gak Put-kun dari belakang.
Tampaknya belasan langkah lagi Ing-ing akan kejeblos ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang
Mo-kau tadi, keruan Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan lain-lain sama kelabakan dan bingung.
Sekonyong-konyong Gak Put-kun melompat ke depan, sekali cengkeram dapatlah ia pegang punggung si Inging,
kedua tangan nona itu terus ditelikung ke belakang. Seketika Ing-ing tak bisa berkutik lagi, pedangnya
jatuh ke tanah.
Gerak Gak Put-kun itu sungguh cepat luar biasa. Lenghou Tiong dan Pau Tay-coh sama sekali tidak sempat
memberi pertolongan. Ilmu silat Ing-ing sendiri sebenarnya juga sangat tinggi, tapi ternyata tidak mampu
melawan, sekali dipegang lantas kena.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, hampir-hampir ia berteriak. Namun si Ing-ing masih berseru
padanya, “Engkoh Tiong, lekas lari, gurumu hendak membunuh kau!”
Air mata memenuhi kelopak mata Lenghou Tiong saking terharunya, ternyata Ing-ing hanya memikirkan
keselamatannya tanpa menghiraukan bahaya sendiri.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah menutuk beberapa kali hiat-to bagian punggung Ing-ing sehingga nona itu
terkapar tak berkutik. Pada saat itulah Gak Put-kun melihat istrinya juga menggeletak di sebelah sana tanpa
bergerak.
Ternyata Gak Put-kun tidak menjadi gelisah, dengan tenang ia periksa keadaan sekitarnya dan ternyata tiada
sesuatu yang mencurigakan. Dasarnya Gak Put-kun memang sangat cerdik, melihat sang istri menggeletak di
situ, terang di sekitarnya penuh tersembunyi bahaya yang mengancam, bahkan ia tidak berusaha mendekati
dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, keparat
Lenghou Tiong itu membunuh putri kesayanganku, tentunya kau pun ambil bagian atas perbuatan itu bukan?”
Kembali Lenghou Tiong terkejut, ia tidak habis paham mengapa gurunya menuduhnya membunuh
siausumoaynya?
Maka terdengar Ing-ing sedang menjawab, “Lim Peng-ci yang membunuh putrimu, apa sangkut pautnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dengan Lenghou Tiong? Kau terus menuduh Lenghou Tiong yang membunuh putrimu, sungguh fitnahan
belaka.”
Gak Put-kun bergelak tertawa, katanya, “Lim Peng-ci adalah menantuku, masakah kau tidak tahu? Mereka
adalah pengantin baru, alangkah cinta kasih mereka, mana bisa suami membunuh istrinya sendiri?”
“Lim Peng-ci telah menggabungkan diri kepada Ko-san-pay, demi memperoleh kepercayaan Co Leng-tan untuk
membuktikan tekadnya bermusuhan dengan kau, maka dia sengaja membunuh anak perempuanmu,” tutur
Ing-ing.
“Hahaha, omong kosong belaka!” kembali Gak Put-kun mengakak. “Kau bilang Ko-san-pay? Hah, di dunia ini
mana ada Ko-san-pay lagi? Ko-san-pay susah terlebur ke dalam Ngo-gak-pay, di dunia persilatan kini nama
Ko-san-pay sudah hapus, mana bisa Lim Peng-ci menggabungkan diri kepada Ko-san-pay? Pula Co Leng-tan
sekarang terhitung bawahanku, hal ini cukup diketahui Peng-ci, buat apa dia meninggalkan bapak mertuanya
yang menjadi ketua Ngo-gak-pay, sebaliknya malah mengekor kepada seorang buta, seorang Co Leng-tan yang
sukar membela dirinya sendiri. Biarpun orang yang paling goblok di dunia ini rasanya juga takkan berbuat
demikian.”
“Masa bodoh jika kau tidak percaya, boleh kau cari Lim Peng-ci dan tanya sendiri padanya,” kata Ing-ing.
Mendadak suara Gak Put-kun berubah bengis, katanya, “Yang kucari saat ini bukanlah Lim Peng-ci, tapi
Lenghou Tiong. Setiap orang Kang-ouw kini sama mengatakan Lenghou Tiong telah memerkosa anak
perempuanku, lantaran anak perempuanku melawan sekuatnya dan akhirnya dibunuh olehnya. Sekarang kau
mengarang cerita untuk menutupi dosa Lenghou Tiong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik.”
Ing-ing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Lalu Gak Put-kun berkata pula, “Yim-toasiocia, ayahmu adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, pantasnya aku takkan
membikin susah padamu. Tapi demi untuk memaksa munculnya Lenghou Tiong, bisa jadi aku terpaksa
menggunakan sedikit hukuman atas dirimu. Aku akan memotong dulu telapak tangan kirimu, lalu telapak
tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan habis itu kaki kanan. Dalam keadaan demikian bila Lenghou
Tiong mempunyai perasaan tentu dia akan muncul.”
“Hm, masakah kau berani?” jengek Ing-ing dengan suara keras. “Kau berani mengganggu seujung rambutku,
Ayah pasti akan membikin bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”
“Aku tidak berani katamu?” sahut Gak Put-kun dengan tertawa. “Sret,” ia terus lolos pedangnya yang
tergantung di pinggang.
Lenghou Tiong tidak tahan lagi, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berseru, “Suhu,
Lenghou Tiong berada di sini!”
Ing-ing menjerit kaget dan cepat berseru pula, “Lekas lari, lekas! Dia tak berani mencelakai diriku!”
Namun Lenghou Tiong menggeleng sambil maju pula, katanya, “Suhu....”
“Bangsat kecil, kau masih ada muka buat memanggil suhu padaku?” bentak Gak Put-kun dengan suara bengis.
Dengan menahan air mata mendadak Lenghou Tiong berlutut dan berkata, “Tuhan sebagai saksi, selamanya
Lenghou Tiong sangat menghormati Nona Gak, pasti tidak berani berlaku kasar sedikit pun. Lenghou Tiong
merasa utang budi kepada suami-istri kalian yang telah membesarkan diriku, jika kau hendak membunuh aku,
silakan lakukan saja.”
Ing-ing menjadi khawatir, serunya, “Engkoh Tiong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan, dia sudah
kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”
Air muka Gak Put-kun mendadak beringas, ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Apa arti ucapanmu tadi?”
“Demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kau sendiri telah... telah membikin dirimu menjadi... menjadi tidak
keruan seperti setan iblis,” sahut Ing-ing. “Engkoh Tiong, apakah kau masih ingat tentang Tonghong Put-pay?
Mereka sudah gila semua, jangan kau anggap mereka orang normal.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Yang dipikirkan Ing-ing hanyalah semoga Lenghou Tiong lekas lari, meski ia insaf ucapannya itu pasti akan
membangkitkan kemurkaan Gak Put-kun kepadanya, namun hal ini tak dipedulikan lagi.
Dengan nada dingin Gak Put-kun bertanya pula, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar berasal dari mana?”
“Lim Peng-ci sendiri yang bilang begitu,” jawab Ing-ing. “Kau telah mencuri Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim,
memangnya kau sangka dia tidak tahu? Waktu kau melempar kasa yang bertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu, saat
mana Peng-ci bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap kasa itu, sebab itulah dia... dia
juga telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kalau tidak mana bisa dia membunuh Ih Jong-hay dan Bok
Ko-hong? Cara bagaimana dia meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya ia pun tahu cara bagaimana
kau meyakinkannya pula. Nah, Engkoh Tiong, apakah kau tidak dengar suara Gak Put-kun yang mirip
perempuan ini. Dia... dia sama saja dengan Tonghong Put-pay sudah... sudah abnormal.”
Ing-ing sendiri mendengar dengan jelas percakapan antara Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian di dalam keretanya,
sedangkan Lenghou Tiong tidak dengar, sebab itulah Ing-ing berusaha menyadarkan Lenghou Tiong agar
mengetahui orang yang dihadapinya sekarang bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan
seorang aneh yang sudah abnormal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan
segala.
Benar juga, sorot mata Gak Put-kun mendadak tambah beringas, katanya, “Yim-siocia, sebenarnya aku hendak
mengampuni jiwamu, tapi karena ucapanmu yang tidak keruan macam itu, terpaksa aku bereskan nyawamu.
Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau akan mampus.”
“Lekas pergi, Engkoh Tiong, lekas!” Ing-ing berteriak-teriak pula.
Sementara itu tertampak Gak Put-kun sudah mulai angkat pedangnya. Lenghou Tiong kenal kelihaian sang
guru, sekali pedangnya bergerak, jiwa Ing-ing tentu akan melayang. Maka cepat ia berteriak, “Kalau mau
bunuh orang bunuhlah aku, jangan mencelakai dia!”
Tiba-tiba Gak Put-kun menoleh ke arah Lenghou Tiong dan menjengek, “Hm, kau cuma mempelajari beberapa
jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia Kang-ouw? Hm, pegang pedangmu,
akan kuhajar kau, biar kau mati dengan rela.”
“Sekali... sekali-kali tidak berani bergebrak dengan Su... dengan kau!” jawab Lenghou Tiong.
“Dalam keadaan demikian kau masih coba berlagak dungu apa?” bentak Put-kun dengan gusar. “Dahulu, ketika
di atas kapal di Hongho, ketika di Ngo-pah-kang pula, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk
membikin malu padaku, tatkala mana sudah timbul niatku hendak membunuh kau, tapi kutahan sampai
sekarang, boleh dikata untung bagimu. Waktu di Hokciu kau pun jatuh di tanganku, kalau bukan istriku juga
berada di sana tentu sudah lama kutamatkan riwayatmu. Lantaran salah hitung dahulu itu sehingga akibatnya
malah mengorbankan anak perempuanku di tangan bangsat macam kau.”
“Aku tidak... tidak....” sahut Lenghou Tiong dengan tergagap.
“Siapkan pedangmu!” bentak Put-kun dengan murka. “Jika kau mampu mengalahkan pedangku, seketika kau
akan dapat membunuh aku, kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni kau. Perempuan siluman Mo-kau
ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.”
Habis berkata pedangnya terus menebas ke leher Ing-ing.
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir Lenghou Tiong menjemput sepotong batu terus disambitkan ke
dada Gak Put-kun, berbareng itu ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, pedang Ing-ing
yang jatuh di tanah itu disambarnya, menyusul ia terus menusuk ke iga kanan Gak Put-kun.
Jika serangan Gak Put-kun tadi diarahkan kepada Lenghou Tiong, maka pemuda itu pasti tidak menangkis dan
rela terbunuh oleh sang guru. Tapi karena Gak Put-kun terlalu gemas terhadap Ing-ing yang telah membongkar
rahasianya, tanpa pikir serangannya ditujukan kepada nona itu lebih dulu. Melihat hal demikian sudah tentu
betapa pun Lenghou Tiong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya di bawah ketiak kanan Gak Put-kun adalah
tempat yang terbuka, maka Lenghou Tiong lantas menyerang tempat itu untuk memaksa lawan menarik
kembali serangannya bila ingin menyelamatkan diri lebih dulu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Benar juga, cepat Gak Put-kun menarik pedangnya untuk menangkis. Tapi susul-menyusul Lenghou Tiong
lantas menyerang pula tiga kali, terpaksa Gak Put-kun melangkah mundur dua-tiga tindak dengan rasa kejut
dan heran.
Maklumlah, sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, ditambah lagi himpunan tenaga dalam
beberapa tokoh silat kelas wahid yang diperolehnya secara kebetulan, yaitu yang disedotnya dengan Gip-singtay-
hoat, kini tenaga-tenaga dalam itu dipancarkan melalui permainan pedangnya, keruan lengan Gak Put-kun
tergetar hingga kesemutan.
Bab 126. Korban Seorang Istri bagi Suami Pengecut
Begitu lawan didesak mundur, segera Lenghou Tiong membalik sebelah tangannya hendak membuka hiat-to
Ing-ing yang tertutuk.
“Jangan urus diriku, awas!” seru Ing-ing. Berbareng sinar putih mengilat, pedang Gak Put-kun sudah menusuk
tiba.
Lenghou Tiong sudah kenal ilmu pedang yang dimainkan Tonghong Put-pay, Gak Put-kun, dan Lim Peng-ci
bertiga. Ia tahu sekali pedang lawan menusuk, meski di tengah serangan itu ada lubang kelemahannya, tapi
lantaran cepat luar biasa seperti bayangan setan, kalau bermaksud balas menyerang ke arah titik lemah musuh
itu tentu diri sendiri sudah terkena pedang lebih dulu. Sebab itulah tanpa pikir Lenghou Tiong lantas
menyungkitkan pedangnya ke atas, berbareng ia menusuk perut Gak Put-kun secepat kilat.
Agar tidak mati konyol, terpaksa Gak Put-kun melompat mundur sambil memaki, “Keji amat bangsat kecil!”
Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil seharusnya Gak Put-kun
kenal watak pemuda itu. Bila dia tidak ambil pusing akan serangan balasan Lenghou Tiong itu dan melainkan
meneruskan serangannya, tentu jiwa Lenghou Tiong sudah dibikin melayang olehnya.
Soalnya, biarpun yang digunakan Lenghou Tiong adalah siasat hancur bersama atau gugur bersama musuh,
sesungguhnya dalam hati ia tidak pernah melupakan budi kebaikan sang guru, sekali-kali dia tidak menusuk
sungguh-sungguh perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Gak Put-kun yang licik dan kotor itu telah salah hitung,
mengukur orang lain atas diri sendiri, sehingga dia kehilangan suatu kesempatan bagus untuk membinasakan
Lenghou Tiong.
Permainan pedang Gak Put-kun tambah gencar setelah beberapa jurus tak bisa mengalahkan lawan. Dengan
tangkas Lenghou Tiong juga menghadapi dengan penuh semangat. Semula dia pikir kalau kalah paling-paling
dirinya akan terbunuh di tangan guru sendiri, tapi lantas teringat Ing-ing yang telah melukai hati Gak Put-kun
dengan ucapan tadi, sebelum nona itu juga terbunuh tentu akan disiksa lebih dulu. Sebab itulah Lenghou Tiong
pantang menyerah lagi dan bertempur sekuat tenaga.
Setelah beberapa puluh jurus, jurus-jurus serangan Gak Put-kun tambah ruwet, Lenghou Tiong menghadapi
dengan memusatkan perhatiannya, lambat laun pikirannya menjadi “plong”, menjadi paham. Yang ditatap
sekarang hanyalah titik ujung pedang lawan saja.
Hendaklah maklum bahwa inti Tokko-kiu-kiam itu adalah “makin kuat pihak musuh makin kuat pula pihak
sendiri.” Dahulu waktu bertanding dengan Yim Ngo-heng di penjara dasar Danau Se-ouw, tak peduli bagaimana
Yim Ngo-heng menyerang dengan macam-macam perubahan selalu Lenghou Tiong dapat melayaninya dengan
jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Yim Ngo-heng boleh dikata jarang ada bandingannya,
tapi dia harus mengakui kehebatan ilmu pedang Lenghou Tiong.
Kini Lenghou Tiong sudah berhasil pula meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, betapa hebat tenaga saktinya sukar
diukur lagi. Sebaliknya Pi-sia-kiam-hoat meski aneh, tapi belum lama dipelajari oleh Gak Put-kun, dia belum
hafal sebagaimana Lenghou Tiong meyakinkan Tokko-kiu-kiam. Karena itu, setelah lebih ratusan jurus, cara
Lenghou Tiong melayani lawannya sudah tak perlu pikir lagi. Betapa pun aneh perubahan jurus serangan Pi-siakiam-
hoat selalu disambut dengan jurus serangan yang sama anehnya.
Dalam pandangan Gak Put-kun sekarang betapa ruwet perubahan ilmu pedang Lenghou Tiong dirasakan jauh
lebih ruwet daripada dirinya, rasanya biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan tetap lahir jurus-jurus
serangan baru.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Terpikir demikian, timbul rasa jerinya seketika. Pikirnya pula, “Perempuan siluman Mo-kau ini telah
membongkar rahasia caraku meyakinkan ilmu pedang, bila hari ini aku tak dapat membereskan mereka, kelak
cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan Kang-ouw, lalu apakah aku ada muka buat menjabat
ketua Ngo-gak-pay lagi? Agaknya segala rencana yang kurancang sejak dahulu akan buyar seluruhnya.”
Karena pikiran gelisah, serangan-serangannya menjadi tambah ganas.
Akan tetapi pertandingan di antara jago kelas tinggi paling mengutamakan ketenangan dan kesabaran. Begitu
pikirannya kacau, seketika permainan pedangnya menjadi rada terganggu. Padahal Pi-sia-kiam-hoat unggul
dalam hal kecepatan, setelah ratusan jurus tak bisa mengalahkan musuh, dengan sendirinya dia mulai patah
semangat, ditambah lagi perhatiannya terpencar karena hati gelisah, daya tekanan pedangnya menjadi banyak
berkurang.
Begitulah sedikit kelemahan Gak Put-kun itu segera dapat dilihat oleh Lenghou Tiong. Memang asas utama
Tokko-kiu-kiam adalah mengincar baik-baik titik kelemahan ilmu silat lawan, lalu titik kelemahan itu dimasuki,
sekali hantam memperoleh kemenangan.
Kini pertarungan mereka sudah berlangsung mendekati dua ratusan jurus. Ciri dari ilmu pedang aliran mana
pun juga di dunia ini adalah pada suatu ketika jurus ilmu pedang masing-masing pasti akan berakhir dan kalau
belum dapat mengalahkan musuh, terpaksa harus mengulangi permainannya dari awal. Dan di sinilah titik
kelemahan Gak Put-kun itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, yaitu pada tiap-tiap kali dia menebas, selalu
bagian ketiak kanan memperlihatkan titik kelemahan yang tak terjaga. Melihat ada kesempatan buat menang,
diam-diam Lenghou Tiong bergirang.
Melihat ujung mulut Lenghou Tiong sekilas mengulum senyum, Gak Put-kun menjadi terkejut malah. Pikirnya,
“Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah mendapatkan jalan untuk mengalahkan diriku?”
Diam-diam ia lantas mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba ia mendesak maju dan mendadak melompat mundur
lagi, lalu mengelilingi Lenghou Tiong dengan cepat, serangannya tambah gencar secara membadai.
Begitu cepat Gak Put-kun berputar sehingga Ing-ing yang menggeletak di tanah itu tidak dapat melihat jelas ke
mana serangan Gak Put-kun itu ditujukan, akhirnya dia merasa kepala pusing dan muak laksana orang mabuk
kapal.
Setelah belasan jurus lagi, tertampak jari tangan kiri Gak Put-kun menuding ke depan, pedang di tangan kanan
ditarik. Lenghou Tiong tahu serangan lawan segera akan diulangi lagi. Sementara Lenghou Tiong sudah merasa
lelah setelah bertempur sekian lamanya, maklum dia baru sembuh dari luka parah. Namun ia sadar bahwa
keadaan sangat gawat, di bawah serangan Gak Put-kun yang gencar dan cepat itu, sedikit lengah saja jiwa
sendiri pasti akan melayang, bahkan Ing-ing akan ikut menjadi korban. Sebab itulah ketika melihat serangan
lawan akan diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan lawan, tempat yang diarah tepat
merupakan titik kelemahan jurus serangan Gak Put-kun itu.
Rupanya gerakan demikian inilah yang diketemukan Lenghou Tiong, yaitu menyerang titik kelemahan musuh
sebelum serangan musuh dilancarkan. Karena didahului, sebelum Gak Put-kun sempat mengganti jurus lain,
tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Keruan Gak Put-kun menjerit kaget, suaranya penuh
rasa kejut, gusar pula dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah berada di bawah ketiak lawan, bila pedang didorong ke depan,
tentu tubuh Gak Put-kun akan tertembus. Tapi mendadak ia mendengar jeritan tajam Gak Put-kun itu, seketika
ia terkejut sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa, dia kan guruku, mana boleh aku mencelakai dia?”
Segera ia tahan pedangnya dan berkata, “Kalah-menang sudah jelas, bagaimana kalau kita sudahi
pertandingan ini, paling perlu men... nolong Sunio lebih dulu!”
“Baiklah!” dengan muka pucat sebagai mayat Gak Put-kun menjawab.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ing-ing. Di luar dugaan,
sekonyong-konyong Gak Put-kun menggertak sekali, pedangnya menyambar secepat kilat mengarah pinggang
kiri Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tempat yang diarah itu sangat berbahaya. Dalam kejutnya cepat Lenghou Tiong bermaksud menjemput
kembali pedangnya, namun sudah terlambat, “bles”, pedang lawan telah menancap di belakang pinggangnya.
Gak Put-kun kegirangan, ia cabut pedangnya dan kembali menebas ke bawah. Lekas-lekas Lenghou Tiong
menjatuhkan diri dan menggelinding pergi. Tapi Gak Put-kun lantas mengejar dan kembali membacok. Untung
Lenghou Tiong sempat mengelak pula. “Trang”, bacokan Gak Put-kun itu mengenai tanah, hanya beberapa
senti jaraknya dari kepala Lenghou Tiong.
Sambil menyeringai Gak Put-kun angkat pedangnya pula, kembali ia melangkah maju, sekali bacok ia pikir
kepala Lenghou Tiong pasti akan dipenggalnya sekarang.
Tak terduga, mendadak sebelah kakinya menginjak tempat lunak, “blong,” tubuhnya terus kejeblos ke bawah.
Ia bermaksud menggenjot ke atas dengan ginkang yang tinggi, namun sesaat itu dirasakan langit dan bumi
seakan-akan berputar, lalu tak sadarkan diri lagi, ia terbanting ke dalam lubang perangkap itu.
Lenghou Tiong benar-benar lolos dari lubang jarum, hampir-hampir mati konyol. Ia coba merangkak bangun
sambil mendekap luka di pinggang belakang.
Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak sana, “Toasiocia! Seng-koh!”
Lalu beberapa orang tampak berlari-lari mendatangi, mereka adalah Pau Tay-coh, Bok-tianglo, dan lain-lain.
Sedapat mungkin Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan bertanya, “Dia... dia menutuk hiat-to bagian mana?”
“Apakah kau tidak... tidak apa-apa?” tanya Ing-ing khawatir.
“Jangan khawatir, aku takkan mati,” sahut Lenghou Tiong.
“Binasakan bangsat keparat itu!” mendadak Ing-ing berteriak. Yang dimaksudkan ialah Gak Put-kun.
Cepat Pau Tay-coh mengiakan.
Namun Lenghou Tiong lantas mencegahnya, “Jang... jangan!”
Melihat kecemasan Lenghou Tiong itu, Ing-ing berkata pula, “Baiklah, boleh tangkap saja dia.”
Ia tidak tahu bahwa di dalam lubang perangkap itu sudah ditaburi pula obat bius, ia khawatir Gak Put-kun akan
melompat kembali ke atas dan tentu akan sukar dilawan.
Maka terdengar Pau Tay-coh mengiakan pula. Ia tidak berani menjelaskan bahwa lubang perangkap itu adalah
hasil kerjanya, sebab sejak tadi ia menyaksikan tuan putri mereka diuber-uber dan ditawan oleh Gak Put-kun,
tapi mereka takut mati dan tidak berani keluar menolong, dosa mereka ini kalau diusut tentu bisa dihukum
mati.
Begitulah Pau Tay-coh lantas melompat ke dalam lubang, ia ketok kepada Gak Put-kun dengan gagang
goloknya, seumpama Gak Put-kun tidak pingsan oleh obat bius tentu juga akan semaput oleh ketokannya yang
cukup keras itu. Kemudian Pau Tay-coh menyeret Gak Put-kun ke atas, dengan cekatan sekali ia tutuk pula
beberapa hiat-to penting di tubuh ketua Ngo-gak-pay itu, lalu diringkus pula kaki dan tangannya dengan
tambang. Sudah kena bius, diketok pula kepalanya, lalu hiat-to ditutuk, diringkus lagi dengan tambang,
biarpun kepandaian Gak Put-kun setinggi langit juga tak bisa lolos.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, kedua orang merasa baru sadar dari impian buruk. Selang agak
lama barulah Ing-ing menangis. Lenghou Tiong mendekatinya dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit ini,
mereka merasakan hidup ini belum pernah seindah sekarang. Perlahan-lahan Lenghou Tiong membukakan
hiat-to Ing-ing yang tertutuk tadi.
Ketika tiba-tiba ia melihat sang sunio masih menggeletak di sana, barulah ia ingat dan berteriak kaget, cepat ia
mendekati Gak-hujin dan membukakan hiat-to yang tertutuk sambil minta maaf.
Apa yang terjadi tadi seluruhnya telah disaksikan oleh Gak-hujin, ia cukup kenal pribadi Lenghou Tiong yang
sangat menghormat dan sayang kepada Gak Leng-sian, ia yakin pemuda itu pasti tidak berani mengganggu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
seujung rambut pun atas diri gadisnya itu, maka tuduhan Lenghou Tiong memerkosa dan membunuh Leng-sian
benar-benar omong kosong dan fitnah belaka. Apalagi ia menyaksikan pula betapa cinta dan setia Lenghou
Tiong terhadap Ing-ing, mana mungkin pemuda itu melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Gak-hujin juga menyaksikan suaminya telah dikalahkan Lenghou Tiong, tapi pemuda itu tidak tega menyerang
lebih lanjut, sebaliknya sang suami malah mendadak menyerangnya dari belakang secara keji, perbuatan
pengecut demikian biarpun orang dari kalangan hek-to juga tidak sudi melakukannya, tapi seorang ketua Ngogak-
pay yang terhormat ternyata tega berbuat begitu, sungguh pengecut, sungguh memalukan. Sesaat itu
Gak-hujin menjadi putus asa dan merasa tiada artinya lagi hidup ini. Dengan hambar ia coba tanya Lenghou
Tiong, “Anak Tiong, apakah benar Anak Sian dibunuh oleh Peng-ci?”
Hati Lenghou Tiong menjadi sedih, air matanya bercucuran, sahutnya dengan terguguk-guguk, “Tecu... aku...
aku....”
“Dia tidak anggap tecu padamu, aku masih tetap mengakui kau sebagai tecu (murid),” ujar Gak-hujin. “Jika
kau sudi, aku pun tetap ibu gurumu.”
Lenghou Tiong sangat terharu, ia menyembah sambil berseru, “Sunio! Sunio!”
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut Lenghou Tiong sambil mengalirkan air mata. Katanya dengan lirih,
“Jadi tidak salah tentunya apa yang dikatakan Yim-siocia ini bahwa Peng-ci telah berhasil meyakinkan Pi-siakiam-
hoat dan kini telah menggabungkan diri pada Co Leng-tan, sebab itulah dia membunuh Anak Sian.”
“Ya, begitulah,” sahut Lenghou Tiong.
“Coba kau balik ke sana, kuperiksa lukamu,” kata Gak-hujin pula.
Lenghou Tiong mengiakan sambil memutar tubuhnya. Lalu Gak-hujin menyobek baju bagian punggung pemuda
itu, ditutuknya hiat-to sekitar tempat luka itu, lalu bertanya, “Obat luka Hing-san-pay tentunya kau bawa,
bukan?”
“Ya, ada,” jawab Lenghou Tiong. Segera Ing-ing mengambilkan obat yang dimaksud dari baju Lenghou Tiong
dan diserahkan kepada Gak-hujin.
Lebih dulu Gak-hujin membersihkan darah di tempat luka, lalu dibubuhi obat, dikeluarkannya saputangan
sendiri yang putih bersih untuk menutup luka itu, lalu gaun sendiri dirobek sepotong sebagai pembalut.
Biasanya Lenghou Tiong menganggap Gak-hujin sebagai ibu sendiri, hatinya sangat terhibur melihat dirinya
diperlakukan sedemikian baik, rasa sakit lukanya sampai terlupa meski sebenarnya cukup parah.
“Kelak tugas membunuh Lim Peng-ci untuk menuntut balas bagi Anak Sian dengan sendirinya harus diserahkan
padamu,” kata Gak-hujin kemudian.
“Tapi Siau... Siausumoay telah pesan sebelum meninggal agar aku melindungi Lim Peng-ci, hal ini telah
kusanggupi, maka urusan ini... sungguh serbasusah bagiku,” kata Lenghou Tiong.
“Ai, dasar karma, karma!” ujar Gak-hujin sambil menghela napas panjang. Lalu sambungnya pula, “Anak Tiong,
selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu baik hati!”
Lenghou Tiong mengiakan. Mendadak tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti tertetes barang cairan.
Waktu ia menoleh, dilihatnya muka Gak-hujin putih pucat. Ia terkejut dan menjerit, “Sunio!”
Waktu ia berbangkit dan memegangi Gak-hujin, ternyata di dada nyonya itu sudah menancap sebilah belati,
tepat menancap di bagian jantung, seketika juga nyonya itu sudah binasa.
Tidak kepalang kejut Lenghou Tiong hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ing-ing juga terperanjat
sekali, cuma dia tiada hubungan kekeluargaan apa-apa dengan Gak-hujin, walaupun kejut dan menyesalkan
kejadian itu, namun tidak terlalu berduka, segera ia pun memayang Lenghou Tiong yang tampak lemas itu.
Selang sejenak barulah Lenghou Tiong dapat bersuara tangis.
Melihat kejadian sedih yang menimpa kedua muda-mudi itu, Pau Tay-coh pikir tentu banyak kata-kata mesra
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
akan diucapkan mereka, ia tidak berani mengganggu di situ, segera ia mengangkat Gak Put-kun dan
mengundurkan diri agak jauh ke sana bersama Bok-tianglo dan lain-lain.
“Untuk apa mereka me... menangkap suhuku?” kata Lenghou Tiong.
“Kau masih panggil suhu padanya?” ujar Ing-ing.
“Sudah biasa,” sahut Lenghou Tiong. “Kenapa Sunio membunuh diri? Mengapa... mengapa beliau membunuh
diri?”
“Sudah tentu disebabkan durjana Gak Put-kun itu,” kata Ing-ing dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai
suami pengecut dan tidak malu seperti dia itu, kalau tidak membunuhnya, ya terpaksa membunuh diri. Kita
harus lekas binasakan Gak Put-kun untuk membalas sakit hati ibu gurumu.”
Tapi Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu pula, katanya, “Kau bilang dia harus dibunuh? Betapa pun dia kan
pernah menjadi guruku?”
“Meski dia pernah gurumu, pernah membesarkan kau, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakai kau,
antara budi dan sakit hati sudah klop dan hapus, sebaliknya budi kebaikan ibu gurumu belum lagi kau balas.
Coba pikir, apakah kematian ibu gurumu bukan disebabkan perbuatannya?”
Lenghou Tiong menghela napas, katanya dengan pilu, “Budi Sunio rasanya sukar kubalas selama hidup ini.
Seumpama aku tidak utang budi lagi kepada Gak Put-kun, betapa pun aku tidak dapat membunuh dia.”
“Tidak perlu kau yang turun tangan,” ujar Ing-ing. Mendadak ia berseru, “Pau Tay-coh!”
“Ya, Toasiocia!” sahut Pau Tay-coh. Segera ia bersama Bok-tianglo mendekati tuan putrinya.
“Apakah Ayah yang menugaskan kalian ke sini?” tanya Ing-ing.
“Benar,” sahut Pau Tay-coh dengan penuh hormat. “Atas titah Kaucu, hamba bersama Kat, Toh, dan Boktianglo
bertiga bersama sepuluh saudara lain ditugaskan menangkap Gak Put-kun dengan cara apa pun juga.”
“Di mana Kat dan Toh-tianglo?” tanya Ing-ing pula.
“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Gak Put-kun dan sampai sekarang belum kembali, mungkin...
mungkin mereka....”
“Coba kau geledah badan Gak Put-kun,” kata Ing-ing.
Pau Tay-coh mengiakan dan segera mulai menggeledah. Hasilnya dari baju Gak Put-kun dikeluarkannya sebuah
panji sutra kecil, itulah panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay. Selain itu ada pula sejilid buku tipis, belasan tahil
emas perak, dan dua potong medali tembaga.
Dengan suara gemas Pau Tay-coh lantas berkata, “Lapor Toasiocia, Kat-tianglo dan Toh-tianglo memang benar
telah dicelakai oleh keparat ini, dalam bajunya diketemukan dua medali kebesaran kedua tianglo kita itu.”
Habis berkata ia terus ayun kakinya menendang, “krak”, kontan sebuah tulang iga Gak Put-kun tertendang
patah.
“Jangan aniaya dia!” seru Lenghou Tiong.
“Ambil air dingin, siram dia biar siuman,” perintah Ing-ing pula.
Orang she Sih tadi lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, air dingin terus disiramkan ke
muka Gak Put-kun.
Sejenak kemudian, sambil bersuara kesakitan Gak Put-kun membuka matanya, ia tak bisa berkutik, terpaksa
hanya melotot saja.
“Orang she Gak, apakah kau yang membunuh kedua tianglo kami?” tanya Ing-ing. Sedang Pau Tay-coh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
melempar-lempar kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.
Melihat dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tak bisa terhindar dari kematian, dengan gusar Gak
Put-kun lantas memaki, “Memang aku yang membunuh mereka. Anggota Mo-kau yang jahat setiap orang
berhak membunuhnya.”
Segera Pau Tay-coh bermaksud menendang pula, tapi lantas teringat kata-kata Lenghou Tiong tadi yang
melarangnya menganiaya tawanan itu, ia tahu hubungan Lenghou Tiong dengan sang kaucu sangat baik, juga
calon suami sang toasiocia, maka ia tidak berani menentang kata-kata Lenghou Tiong tadi.
“Hm,” Ing-ing lantas menjengek, “kau menganggap dirimu adalah ketua golongan beng-bun-cing-pay segala,
akan tetapi perbuatanmu entah berapa kali lebih kotor dan rendah daripada anak buah Tiau-yang-sin-kau
kami, tapi kau secara tidak tahu malu berani memaki kami sebagai orang jahat. Malahan istrimu sendiri merasa
malu atas perbuatanmu, ia lebih suka membunuh diri daripada menjadi istrimu, apakah kau masih punya muka
buat hidup terus di dunia ini.”
“Perempuan siluman sembarangan omong, sudah jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan dia
membunuh diri,” damprat Gak Put-kun.
“Coba dengarkan, Engkoh Tiong, betapa tidak tahu malu ucapannya,” kata Ing-ing.
“Ing-ing, aku ingin mohon sesuatu padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Aku tahu kau hendak minta agar kulepaskan dia, hendaklah tahu bahwa ringkus harimau lebih gampang
daripada melepaskan harimau,” sahut Ing-ing. “Orang ini berhati keji dan berjiwa culas, ilmu silatnya tinggi
pula, kelak kalau kau kepergok dia mungkin takkan gampang membekuk dia lagi.”
“Sekali ini hubunganku sebagai murid dan guru dengan dia sudah putus,” kata Lenghou Tiong. “Ilmu
pedangnya aku pun sudah paham seluruhnya, jika dia berani mencari aku lagi, maka aku pun tidak kenal
ampun lagi padanya.”
Ing-ing tahu pasti Lenghou Tiong tidak mengizinkan dia membunuh Gak Put-kun, asalkan selanjutnya Lenghou
Tiong benar-benar putuskan segala hubungan baik dengan Gak Put-kun, maka bila ketemu lagi kelak juga tidak
perlu gentar. Segera ia menjawab, “Baiklah, hari ini boleh kita mengampuni jiwanya. Nah, Pau-tianglo, Boktianglo,
dan para saudara dalam agama, selanjutnya kalian boleh siarkan di kalangan Kang-ouw bahwa Gak
Put-kun telah kita bekuk, lalu kita ampuni dia. Siarkan pula bahwa Gak Put-kun telah rela membikin cacat
dirinya sendiri demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, sekarang dia sudah setengah gila, laki-laki bukan
perempuan tidak, supaya hal ini dimaklumi oleh para kesatria di seluruh jagat.”
Serentak Pau-tianglo dan lain-lain mengiakan bersama. Sedangkan air muka Gak Put-kun tampak pucat pasi,
kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar mata yang penuh kebencian dan dendam.
“Hm, kau dendam padaku, memangnya aku tidak tahu?” jengek Ing-ing sambil ayun pedangnya untuk
memotong tambang yang mengikat badan Gak Put-kun itu, ia mendekati tawanan itu dan membuka sebuah
hiat-to di bagian punggung. Lalu tangan kanan menahan di mulut ketua Ngo-gak-pay itu, tangan kiri menepuk
perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Gak Put-kun membuka mulut dan tahu-tahu di dalam mulut
sudah bertambah satu biji obat, berbareng itu terasa hidungnya menjadi buntu, tak bisa bernapas. Rupanya
tangan Ing-ing telah memencet lubang hidungnya. Keruan Gak Put-kun terpaksa harus membuka mulut untuk
bernapas, tanpa ayal lagi Ing-ing lantas kerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Gak Put-kun itu
terdorong ke dalam perutnya.
Dengan suara perlahan Ing-ing lalu membisiki dia, “Awas, jangan sekali-kali kau muntahkan, jika
membangkang segera kuputuskan seluruh urat nadimu dengan Siau-tiong-jiu-hoat.”
Pada waktu Ing-ing memutuskan tali ringkusan Gak Put-kun dan membuka hiat-to tadi dia sengaja berdiri
membelakangi Lenghou Tiong sehingga pil yang dijejalkan ke dalam mulut Gak Put-kun itu tak dilihat oleh
pemuda itu. Dan sesudah telan pil itu, Gak Put-kun menjadi ketakutan sebab ia tahu pil itu adalah obat
pembusuk badan yang paling terkenal dari Toan-ngo-ciat, yakni hari yang biasa disebut Peh-cun, tanggal 5
bulan 5 hitungan Imlek, diharuskan minum obat penawar untuk menangguhkan bekerjanya kuman racun obat
itu. Kalau tidak, maka kuman racun akan menyusup ke dalam otak sehingga sakitnya tak terperikan, bahkan
terus menggila melebihi anjing gila.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Selain itu Gak Put-kun juga tahu ilmu Siau-tiong-jiu-hoat dari Mo-kau, yaitu semacam ilmu tiam-hiat yang
dapat menutuk putus urat-urat nadi terpenting sehingga sang korban akan lemas lunglai seperti tak bertulang
lagi, tapi justru tidak sampai mati, maka dapat dibayangkan derita yang harus dirasakan.
Dalam keadaan tak berkutik, betapa pun cerdik pandai dan licik culasnya Gak Put-kun, pucat juga wajahnya
dan keringat dingin membasahi dahinya.
Begitulah kemudian Ing-ing berpaling, dan berkata kepada Lenghou Tiong, “Engkoh Tiong, tutukan Pau-tianglo
tadi rada berat, kini sudah kubuka kembali hiat-to yang tertutuk itu, sebentar lagi dia baru dapat berjalan lagi.”
“Banyak terima kasih padamu,” sahut Lenghou Tiong.
Dalam hati Ing-ing merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Gak Putkun,
tapi betapa pun juga apa yang dilakukan itu adalah demi kebaikan sang kekasih.
Selang sejenak, Ing-ing yakin pil tadi sudah hancur di dalam perut Gak Put-kun dan tidak mungkin
ditumpahkan keluar, habis itu barulah dia melancarkan kembali hiat-to Gak Put-kun yang lain sambil
membisikinya, “Setiap hari Toan-ngo tiap tahun boleh kau datang ke Hek-bok-keh, aku akan memberi obat
penawarnya padamu.”
Bisikan itu lebih meyakinkan Gak Put-kun lagi bahwa obat yang ditelannya tadi memang betul “pil pembusuk
tubuh” dari Mo-kau, tanpa kuasa badannya menjadi gemetar, katanya, “Jadi pil ini adalah... adalah....”
“Benar, kau harus diberi selamat,” kata Ing-ing. “Obat mujarabku itu tidak mudah membuatnya, dalam agama
kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi
syarat untuk minum obat dewa itu. Betul tidak, Pau-tianglo?”
“Betul,” sahut Pau Tay-coh. “Atas anugerah Kaucu pernah juga Siokhe minum obat dewa itu, maka selamanya
Siokhe sangat setia dan tunduk, malahan Kaucu juga menaruh kepercayaan penuh kepada Siokhe, sungguh
tiada terkatakan manfaat daripada obat dewa tersebut.”
Lenghou Tiong terkejut juga, katanya, “He, kau memberikan obat....”
“Ah, mungkin saking kelaparan sehingga dia makan barang apa saja yang dilihatnya,” kata Ing-ing dengan
tersenyum. “Nah, Gak Put-kun, selanjutnya kau harus berusaha membela kepentingan Engkoh Tiong dan aku,
hal ini akan berfaedah bagimu.”
Tidak kepalang benci Gak Put-kun, pikirnya, “Jika perempuan siluman cilik ini kebetulan mengalami sesuatu
atau dibunuh orang, maka yang akan konyol tentulah diriku. Bahkan dia tidak sampai mampus, tapi terluka
parah umpamanya sehingga tidak dapat pulang ke Hek-bok-keh pada hari Toan-ngo, lalu ke mana aku dapat
mencari dia?”
Berpikir demikian, kembali ia menjadi khawatir dan gemetar pula.
Lenghou Tiong menghela napas, ia pikir dasar Ing-ing berasal dari Mo-kau sehingga tingkah lakunya juga radarada
berbau “jahat”. Tapi apa yang diperbuatnya sesungguhnya demi kepentingannya sehingga tak dapat pula
menyalahkan dia.
“Pau-tianglo,” kata Ing-ing kemudian, “kau pulang ke Hek-bok-keh dan lapor kepada Kaucu, katakan ketua
Ngo-gak-pay yang dihormati, Gak Put-kun, Gak-siansing, kini telah menggabungkan diri ke dalam agama kita
dengan setulus hati, obat dewa Kaucu sudah diminumnya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”
Sebenarnya Pau Tay-coh sedang sedih sebab bingung entah cara bagaimana harus memberi pertanggungan
jawab kepada sang kaucu atas tugas yang diberikan padanya, yaitu tugas menangkap Gak Put-kun. Kini
melihat Gak Put-kun telah dicekoki pil sakti oleh Ing-ing, ia menjadi girang dan yakin sang kaucu pasti akan
bergirang bila diberi laporan apa yang terjadi itu. Begitulah ia lantas mengiakan atas perintah Ing-ing tadi.
Lalu Ing-ing berkata pula, “Karena Gak-siansing sudah masuk anggota kita, mengenai hal-hal yang merugikan
nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di luaran. Tentang pil dewa yang telah dimakannya lebih-lebih
jangan dibocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan amat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dalam segala hal, kelak Kaucu tentu akan memanfaatkan tenaganya.”
Kembali Pau Tay-coh mengiakan pesan Ing-ing itu.
Melihat keadaan Gak Put-kun yang serbakonyol itu, Lenghou Tiong ikut merasa menyesal, meski dirinya tadi
hendak dibinasakan oleh Gak Put-kun, tapi mengingat budi kebaikan selama likuran tahun, selama itu
hubungan mereka seperti ayah dan anak, kini mendadak berubah menjadi musuh, sungguh ia merasa sedih.
Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Gak Put-kun, tapi tenggorokan
serasa terkancing dan sukar bicara.
“Pau-tianglo,” kata Ing-ing pula, “bila kalian pulang ke Hek-bok-keh, sampaikanlah hormat baktiku kepada
ayah dan juga kepada Hiang-sioksiok, katakan kepada beliau-beliau itu bahwa nanti kalau... kalau dia... dia
Lenghou-kongcu sudah sembuh lukanya barulah kami akan pulang ke sana.”
Bab 127. Muslihat Keji Gak Put-kun
Terhadap nona lain tentu Pau Tay-coh akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji sebagaimana lazimnya
terhadap muda-mudi yang sedang dirundung asmara, tapi terhadap Ing-ing mana dia berani bicara begitu,
maka memandang saja tidak berani melainkan membungkuk memberi hormat dan mengiakan belaka dengan
sikap sungguh-sungguh. Ia tahu tuan putrinya itu pemalu, khawatir orang menertawai dia jatuh cinta kepada
Lenghou Tiong sehingga banyak orang Kang-ouw pernah menjadi korban perasaan si nona yang aneh itu.
Begitulah Pau Tay-coh lantas mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya
terhadap Lenghou Tiong bahkan melebihi hormatnya kepada Ing-ing. Ia tahu semakin hormat kepada Lenghou
Tiong tentu akan semakin menambah kegirangan hati Ing-ing. Sebagai kawakan Kang-ouw dan sudah kenyang
pengalaman hidup, sudah tentu Pau Tay-coh dapat menyelami jiwa anak gadis pada umumnya.
Terakhir tinggal Gak Put-kun yang masih berdiri mematung di situ, Ing-ing lantas berkata, “Gak-siansing, kau
pun boleh pergi saja. Tentang jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Hoa-san untuk dikebumikan di
sana?”
Gak Put-kun menggeleng, sahutnya, “Mohon tolong kalian berdua, boleh dikubur saja di sini.”
Habis berkata, tanpa memandang lagi kepada Lenghou Tiong maupun Ing-ing, segera ia melangkah pergi
dengan cepat, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak pohon sana.
Setelah mengalami malapetaka yang hampir merenggut nyawa Lenghou Tiong dan Ing-ing tadi, cinta kasih di
antara mereka telah bertambah lebih kekal lagi. Kedua orang saling pandang, lalu saling berpelukan dengan
mesra.
Menjelang magrib, selesailah mereka mengubur Gak-hujin di sebelah kuburan Gak Leng-sian. Kembali Lenghou
Tiong menangis dengan sedih.
Esok paginya, Ing-ing tanya keadaan luka Lenghou Tiong.
“Sekali ini tidak terlalu parah, tak perlu khawatir,” kata pemuda itu.
“Baiklah kalau begitu, tempat kita ini sudah diketahui orang, kupikir dua-tiga hari lagi kita harus pindah
tempat,” ujar Ing-ing.
“Benar juga,” kata Lenghou Tiong. “Siausumoay sudah ditemani ibunya, tentu dia takkan kesepian lagi.”
Lalu Ing-ing mengeluarkan sejilid buku tipis, itulah benda yang diketemukan Pau Tay-coh ketika menggeledah
badan Gak Put-kun. Katanya kemudian, “Ini adalah Pi-sia-kiam-boh yang mengakibatkan Hoa-san-pay kalian
kocar-kacir, sungguh suatu bibit bencana.”
Habis berkata ia terus robek-robek buku itu hingga hancur, lalu dibakar di depan makam Gak-hujin.
“Pada dasarnya Suhu adalah orang baik, tapi demi untuk meyakinkan ilmu pedang sesat ini, akhirnya sifatnya
berubah lain sama sekali,” kata Lenghou Tiong.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Memang tidak salah ucapanmu,” kata Ing-ing. “Kalau kiam-boh ini tetap beredar di dunia Kang-ouw, sungguh
akan menimbulkan malapetaka yang tak terhingga. Kita sudah membakar sejilid kiam-boh ini, tapi Lim Peng-ci
masih memegang kiam-boh yang asli. Cuma kukira dia takkan seluruhnya diuraikan kepada Co Leng-tan dan
Lo Tek-nau. Anak she Lim itu pun bukan orang bodoh, mana dia mau memberikan kiam-boh berharga itu
kepada orang lain?”
“Mata Co Leng-tan dan Lim Peng-ci sudah buta semua, bila benar Lim Peng-ci mau mengajarkan ilmu pedang
itu, paling-paling hanya bisa mengajar dengan uraian mulut saja, tidak mungkin kiam-boh itu ditulis kembali.
Tapi Lo Tek-nau tidak buta, dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiga orang itu adalah manusia-manusia
licik dan licin, mereka berkumpul menjadi satu, tentu juga tidak terhindar dari pertarungan tipu-menipu,
akhirnya entah bagaimana jadinya. Cuma dua lawan satu, mungkin Lim Peng-ci akan kecundang.”
“Apakah kau benar-benar akan berusaha membela Lim Peng-ci?” tanya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjawab sambil memandang kuburan Leng-sian, “Tidak seharusnya aku menyanggupi kepada
Siausumoay akan membela Lim Peng-ci. Orang ini lebih kejam daripada binatang, pantasnya kucincang
tubuhnya hingga hancur luluh, mana aku akan membantu dia pula? Hanya saja aku sudah berjanji kepada
Siausumoay, bila aku ingkar janji, di alam baka tentu dia takkan tenteram.”
“Ketika masih hidup dia tidak tahu siapakah yang benar-benar baik padanya, sesudah di alam baka seharusnya
dia tahu,” kata Ing-ing. “Maka dia tentu pula tidak menginginkan kau melindungi Lim Peng-ci.”
“Sukar dipastikan,” ujar Lenghou Tiong. “Cinta Siausumoay terhadap Peng-ci sudah terlalu mendalam, biarpun
tahu ia sendiri dibunuh oleh suaminya itu toh tidak tega membiarkan hidup suaminya merana dalam keadaan
buta.”
Diam-diam Ing-ing membatin, “Tidak salah juga ucapanmu ini, seumpama aku, tidak peduli bagaimana
sikapmu terhadap diriku toh aku akan tetap mencintai kau dengan segenap jiwa ragaku.”
Begitulah setelah istirahat beberapa hari lagi, luka baru Lenghou Tiong itu sudah hampir sembuh seluruhnya.
Setelah memberi hormat di depan makam Gak-hujin dan Leng-sian, lalu berangkatlah mereka.
Mereka masih berada dalam wilayah Holam, agar tidak dikenali orang, mereka tetap menyamar, yang satu
menyamar sebagai pak tani, yang lain sebagai gadis tani.
Lenghou Tiong mengkhawatirkan para anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua, ia
menyatakan harus menuju ke Hing-san dahulu, setelah menyerahkan jabatan ketua kepada Gi-jing barulah dia
akan berkelana ke mana pun juga bersama Ing-ing atau kemudian memilih suatu tempat menetap yang abadi.
“Lalu urusan Lim Peng-ci itu cara bagaimana kau akan bertanggung jawab terhadap mendiang siausumoaymu?”
tanya Ing-ing.
“Ya, urusan ini memang paling memusingkan kepalaku,” kata Lenghou Tiong sambil garuk-garuk kepala yang
tidak gatal. “Tapi sebaiknya jangan kau singgung-singgung dahulu, biarlah kulakukan menurut keadaan saja.”
Ing-ing tersenyum dan tidak membicarakannya lagi.
Begitulah mereka lantas menyewa sebuah kereta terus menuju ke utara. Suatu hari sampailah mereka di
wilayah Soasay, kira-kira tujuh atau delapan hari lagi baru dapat sampai di Hing-san. Malam itu mereka
menginap di Kota Seng-peng-tin.
Sepanjang jalan selalu Ing-ing minta tinggal berpisah dengan Lenghou Tiong pada hotel yang lain. Lenghou
Tiong tahu nona itu pemalu, khawatir kepergok kenalan dan menimbulkan cerita iseng. Padahal mereka sudah
tinggal bersama selama belasan hari di pegunungan sunyi, kalau orang mau omong iseng tentu juga sudah
ramai disiarkan. Apalagi kelak kau dan aku sudah jelas bakal menjadi suami istri, peduli apa terhadap omongan
iseng orang lain? Demikian pikir Lenghou Tiong. Namun dia pun tidak mau membantah keinginan Ing-ing itu
dan menuruti saja. Untungnya Seng-peng-tin cukup ramai dan ada beberapa buah hotel, maka di sini pun
mereka tetap tinggal terpisah pada dua hotel.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar suara beberapa orang sedang berdebat dengan
suara tertahan. Bahwasanya orang bertengkar dalam hotel di tengah malam adalah kejadian biasa, akan tetapi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang menarik perhatian Lenghou Tiong adalah suara seorang yang kasar berulang-ulang menyebut “Hing-sanpay”.
Mestinya Lenghou Tiong sudah hampir pulas, ketika mendengar “Hing-san-pay” disinggung, seketika ia
terjaga dan segera pasang kuping.
Orang-orang yang sedang bicara itu tinggal di kamar seberang halaman sana, semuanya bicara dengan suara
tertahan, tapi bagi Lenghou Tiong yang kini telah memiliki lwekang tinggi dapat didengarnya cukup jelas.
Terdengar suara seorang perempuan sedang berkata, “Kita telah tinggal sekian lamanya di Hing-san, maka
dapat dikatakan kita pernah menjadi orang Hing-san-pay pula. Sekarang kita harus kembali ke sana untuk
menggempur Hing-san-pay, cara bagaimana kita akan bicara bila ketemu Lenghou-kongcu?”
Lenghou Tiong terkejut dan heran, mereka pernah tinggal di Hing-san, tapi sekarang akan menyerang Hingsan-
pay, apa sebabnya?
Maka terdengar orang yang bersuara kasar tadi menanggapi, “Thio-hujin, kau orang perempuan memang suka
ragu-ragu. Meski kita pernah tinggal di paviliun Hing-san, tapi kita kan bukan nikoh, mana dapat dikatakan
orang Hing-san-pay? Lenghou-kongcu selamanya tiada hubungan apa-apa dengan kita, sebabnya kita mau
menjunjung dia adalah karena terdorong oleh hormat kita kepada Seng-koh. Padahal sekarang kabarnya Sengkoh
sudah marah dan putus hubungan dengan dia lantaran Lenghou Tiong memerkosa serta membunuh Nona
Gak dari Hoa-san-pay itu.”
Mendengar nama “Thio-hujin”, segera Lenghou Tiong ingat bahwa kelompok ini mula-mula dijumpainya di
Lembah Hongho, kelompok mereka seluruhnya ada tujuh orang, selain Thio-hujin masih ada Tong-pek-siang-ki
(Dua Aneh Tong dan Pek), Tiang-hoat-thau-to Siu Siong-lian, seorang hwesio piara rambut, lalu Giok-leng
Tojin, Say-po Hwesio, serta Siang-coa-ok-gik Giam Sam-seng Si Pengemis Galak Berular Dua. Ketujuh orang
ini pun pernah mengincar Pi-sia-kiam-boh dan pernah mengerubuti ketua Jing-sia-pay, yaitu Ih Jong-hay,
kemudian kelompok ini pun pernah ikut menyerbu Siau-lim-si dan tinggal di Hing-san. Orang yang bersuara
kasar tadi adalah Siu Siong-lian, thauto berambut.
Terdengar Thio-hujin berkata pula, “Kabar di kalangan Kang-ouw kebanyakan adalah omong kosong belaka.
Buktinya Hing-san-pay banyak anak murid yang muda lagi cantik, sedikit pun Lenghou Tiong tidak pernah
bertingkah buruk, masakah dia malah memerkosa Nona Gak? Apalagi Seng-koh berpuluh kali lebih cantik
daripada Nona Gak, sedemikian mendalam Seng-koh jatuh cinta padanya. Maka berita bohong itu
sesungguhnya cuma bikin kotor telinga saja.”
“Kaum wanita kalian memang tidak paham akan hati lelaki,” ujar Siu Siong-lian dengan tertawa. “Watak kaum
lelaki, kalau punya satu ingin punya dua, punya dua ingin punya empat. Biarpun Seng-koh secantik bidadari
juga sukar menjamin takkan timbul minat Lenghou Tiong terhadap perempuan lain.”
“Tak peduli apa katamu, yang jelas suruh aku membunuhi anak buah Lenghou Tiong, aku pasti tidak mau,”
sahut Thio-hujin.
“Kau tidak mau, sukar juga orang memaksa kau,” kata Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua, “Cuma
kau jangan lupa, Gak-siansing memegang Hek-bok-leng (medali kayu hitam) tanda perintah Yim-kaucu,
resminya dia ketua Ngo-gak-pay, tapi diam-diam dia sudah masuk Tiau-yang-sin-kau, dia memberi tugas
kepada kita justru karena mendapat perintah dari Yim-kaucu.”
“Ia pun berjanji akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita bilamana tugas kita sudah selesai,” Siu Sionglian
menambahkan. “Gak-siansing terkenal dengan julukan Kun-cu-kiam, kukira tidak mungkin dia ingkar janji.
Masakah dia tidak sayang kepada julukannya yang diperolehnya dengan susah payah selama berpuluh tahun?”
Thio-hujin merenung sejenak, kemudian berkata, “Jika begitu, baiklah kita ada rezeki dibagi rata, ada
kesukaran dipikul bersama.”
Serentak keenam orang yang lain bersorak gembira.
“Baik sekali jika Thio-hujin sudah setuju,” kata Giok-leng Tojin. “Tentang Lenghou Tiong, tak peduli apakah dia
benar memerkosa dan membunuh Nona Gak atau tidak, sekalipun Seng-koh suka padanya, betapa pun dia
adalah orang Tiau-yang-sin-kau juga, masakah dia berani membangkang terhadap Hek-bok-leng sang kaucu?
Kalau kita sudah tumpas Hing-san-pay, andaikan dia tidak terima, boleh dia bicara dengan Yim-kaucu dan Gaksiansing.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Menurut Gak-siansing, katanya orang-orang yang dikirim ke Hing-san telah diteliti dan dipilih dengan baik, jadi
tidak setiap teman kita yang pernah tinggal di Hing-san mendapatkan tugas ini,” kata Siu Siong-lian. “Saat ini,
rombongan-rombongan yang berangkat lebih dulu agaknya sudah sampai di Hing-san.”
“Memang,” kata Say-po Hwesio. “Jika setiap orang dikirim ke sana dan setiap orang diberi ajaran Pi-sia-kiamhoat,
maka ilmu pedang ini tentu tidak menarik lagi.”
“Ya, memang tidak begitu. Menurut Gak-siansing, setelah usaha kita berhasil, Pi-sia-kiam-hoat itu hanya
diajarkan kepada kita bertujuh serta Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Selain kedelapan orang ini tiada seorang pun
yang mendapat bagian lagi. Maka kita diharuskan menutup mulut supaya orang lain tidak iri,” kata Giok-leng
Tojin.
“Aneh, Hoat-put-liu-jiu Yu Siok yang sok itu, mengapa Gak-siansing justru penujui dia?” ujar Thio-hujin.
“Hal ini sukar dijelaskan,” kata Giok-leng. “Bisa jadi Yu Siok itu pintar bicara yang manis-manis sehingga Gaksiansing
tertarik, bisa pula lantaran dia pernah berjasa sesuatu bagi Gak-siansing.”
Untuk seterusnya apa yang dibicarakan ketujuh orang itu adalah hal-hal yang tidak penting, tapi rupanya
semakin mengobrol semakin senang mereka, katanya kelak bila mereka sudah berhasil meyakinkan Pi-siakiam-
hoat, maka mereka bertujuh pasti akan malang melintang di dunia Kang-ouw. Seorang Gak Put-kun yang
mahir Pi-sia-kiam-hoat saja sudah sehebat itu, apalagi tujuh orang sekaligus. Sampai akhir obrolan mereka,
dengan suara keras mereka lantas memanggil pelayan agar membawakan arak dan daharan, agaknya mereka
ingin bikin pesta semalam suntuk.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Mereka mengatakan guruku memegang Hek-bok-leng dan menugaskan
mereka membasmi Hing-san-pay. Apakah mungkin dalam beberapa hari ini Suhu telah menggabung kepada
Tiau-yang-sin-kau. Ah, rasanya tidak mungkin. O ya, Pau Tay-coh itu membawa Hek-bok-leng, tampaknya di
tengah jalan dia telah dibunuh oleh Suhu sehingga Hek-bok-leng itu terampas. Karena tertawan dan mendapat
siksaan di lembah itu tempo hari, sudah tentu Suhu sangat dendam, maka untuk melampiaskan dendam dan
untuk melenyapkan saksi, begitu meninggalkan lembah pegunungan itu Suhu lantas membinasakan Pau Taycoh
dan kawan-kawannya. Bila aku sendiri yang menghadapi keadaan demikian tentu juga akan berbuat cara
sama dengan membunuh mereka.”
Lalu terpikir lagi olehnya, “Lantas sebab apa Suhu hendak menumpas Hing-san-pay? Ya, mungkin dia dendam
padaku, tapi tidak mampu melawan aku, pada saat aku belum sembuh dari luka parah, sekaligus ia hendak
menghancurkan Hing-san-pay untuk menjatuhkan pula namaku. Dia telah dicekoki pil maut oleh Ing-ing,
selama hidup selanjutnya berarti berada di bawah cengkeraman seorang nona cilik, lalu apa artinya menjadi
manusia demikian? Mungkin ia menjadi nekat karena dia sekarang tinggal sebatang kara, daripada hidup
tersiksa ada lebih baik membunuh diri saja, tapi, sebelumnya dia ingin menghancurkan Hing-san-pay lebih dulu
sekadar pelampias dendam.”
Ia berpikir sebagai Gak Put-kun, ia merasa apa yang akan dilakukannya itu memang tiada salahnya, maka
tanpa terasa timbul juga solidaritasnya kepada Gak Put-kun. Terpikir pula, “Jika kuberi tahukan hal ini kepada
Ing-ing, tentu dia akan gusar dan takkan memberi obat penawar kepada Suhu. Jalan yang paling baik adalah
mengenyahkan dulu kawanan penyusup ini dari Hing-san, habis itu baru mencari akal untuk melayani Suhu.”
Teringat olehnya kata-kata Siu Siong-lian bahwa penyusup-penyusup itu dikirim secara berombongan, tentunya
mereka baru turun tangan bilamana semua rombongan sudah lengkap berada di Hing-san, jadi sementara ini
Hing-san belum gawat, biarlah kubicarakan besok saja dengan Ing-ing. Setelah ambil ketetapan demikian, ia
tidak mengikuti lagi pembicaraan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya itu melainkan terus berbaring dan tidur.
Besoknya pagi-pagi ia sudah mendatangi hotel Ing-ing dan sarapan bersama si nona. Ia pikir demi keselamatan
Suhu, sebaiknya apa yang didengarnya semalam jangan diberitahukan dulu kepada Ing-ing. Maka sambil
makan ia pun berkelakar dengan mengada-ada, “Kau dan aku masih belum melakukan upacara nikah....”
Baru sekian ucapannya, seketika wajah Ing-ing merah jengah dan mengomel, “Cis, siapa yang mau main
upacara nikah padamu?”
“Kelak toh mesti jadi, bukan?” sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. “Jika kau tidak mau, aku akan tangkap
dan paksa kau.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Pagi-pagi kau sudah bicara angin-anginan begini,” kata Ing-ing dengan tersenyum.
“Ini urusan mahapenting, menyangkut kehidupan selamanya,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Eh, Inging,
ketika di lembah gunung tempo hari tiba-tiba kupikir kelak bila kita sudah kawin, paling baik kita punya
berapa orang anak? Menghadapi tho-kok (lembah tho) di sana itu aku menjadi terbayang bilamana kelak lahir
enam Tho-kok-lak-sian kecil, kan sangat menarik?”
Ing-ing melototi Lenghou Tiong sambil mengikik geli, namun dalam hati merasa manis sekali.
Lenghou Tiong berkata pula, “Kita bersama-sama menuju ke Hing-san, orang-orang yang berpikiran kotor
jangan-jangan akan mengira kita sudah kawin sehingga sembarangan omong, hal ini tentu akan membikin
marah padamu.”
Ucapan ini kena benar di lubuk hati Ing-ing, sahutnya, “Benar. Syukur kita sekarang sudah menyamar begini,
orang lain tentu tak dapat mengenali kita lagi.”
“Kau terlalu cantik, betapa pun menyamar juga tetap menarik perhatian orang,” ujar Lenghou Tiong. “Menurut
pendapatku, setiba di Hing-san sebaiknya aku tidak muncul dulu, tapi menyaru seorang yang tidak menarik
untuk menyelidiki keadaan di sana. Jika keadaan Hing-san aman sentosa, maka aku akan perlihatkan diri dan
menyerahkan kedudukan ketua kepada orang lain, habis itu, kita bertemu lagi di suatu tempat yang
dirahasiakan untuk kemudian pergi dari sana tanpa diketahui siapa pun.”
Ing-ing tahu sebabnya Lenghou Tiong bicara begitu adalah untuk menyesuaikan dengan wataknya yang
pemalu, sungguh hatinya sangat senang, segera ia menjawab, “Baiklah. Cuma untuk menemui para suthay di
Hing-san sana, agar tidak mencolok paling baik kalau kau pun cukur rambut dan menyaru menjadi suthay,
tanggung orang takkan curiga. Eh, tampaknya kau akan sangat cantik juga bila menyamar sebagai nikoh cilik.
Hayolah Engkoh Tiong, coba kudandani kau.”
Lenghou Tiong tertawa dan goyang-goyang tangannya, katanya, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat nikoh,
setiap kali pula kalah judi. Bila aku menyamar sebagai nikoh tentu akan sial selamanya, aku tidak mau. Cuma
untuk menghindarkan perhatian, memang perlu aku menyaru sebagai orang perempuan. Tapi sekali aku
membuka suara tentu pula akan ketahuan. Maka paling baik aku menyamar seorang bisu tuli. Apakah kau
masih ingat kepada seorang yang tinggal di Sian-kong-si, itu biara yang dibangun terapung di antara dua
puncak di belakang Kian-seng-hong di Hing-san itu?”
“Aha, bagus sekali, memang di Sian-kong-si itu ada seorang babu tua, bisu lagi tuli, kita pernah bertempur
sengit di sana, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak dengar. Kita tanya padanya, dia juga cuma melongo
saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”
“Benar,” sahut Lenghou Tiong.
“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian, segera aku mendandani kau,” kata Ing-ing.
Dengan dua tahil perak Ing-ing berhasil membeli seikat cemara, disisirnya dengan baik, lalu dipasang di atas
kepala Lenghou Tiong, pakaian bekas yang baru dibeli lantas ditukarkan pakaian petani yang dipakai itu, maka
berubahlah dia menjadi seorang perempuan. Kemudian mukanya diberi pupur yang kekuning-kuningan, di
sana-sini ditutul lagi beberapa tahi lalat, kulit mukanya sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempel dengan
sepotong koyok sehingga alis kanan ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga rada merot. Waktu
Lenghou Tiong bercermin, sampai dia pun hampir-hampir tidak mengenal dirinya sendiri.
“Nah, luarnya sudah berubah, hanya tingkah lakumu masih perlu dilatih, kau harus berlagak bodoh, berlagak
tolol, macam orang linglung. Yang paling penting, bila ada orang mendadak menggertak di belakangmu, jangan
sekali-kali kau melonjak terkejut sehingga rahasia penyamaranmu terbongkar.”
“Berlagak tolol bagiku adalah hal paling gampang, pura-pura bodoh memangnya adalah keahlianku,” ujar
Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sepanjang jalan Lenghou Tiong lantas menyamar sebagai babu tua yang bisu dan tuli sebagai latihan
pendahuluan dan agar tidak ketahuan bila ketemu orang lain. Kedua orang tidak bermalam di hotel lagi, tapi
mencari kelenteng rusak atau biara bobrok untuk bermalam. Terkadang Ing-ing sengaja menggertak di
belakang Lenghou Tiong, namun pemuda itu ternyata tidak kaget dan anggap tidak dengar.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tidak seberapa hari sampailah mereka di kaki Hing-san, mereka berjanji akan bertemu kembali di sekitar Siankong-
si tujuh hari kemudian. Lalu Lenghou Tiong menuju ke Kian-seng-hong dan Ing-ing pesiar dan mencari
kesenangan sendiri di sekitar pegunungan indah itu.
Setiba di Kian-seng-hong, hari sudah petang. Lenghou Tiong pikir bila langsung menuju ke biara tempat
kediaman Gi-jing dan lain-lain tentu penyamarannya itu akan dicurigai. Ia pikir paling baik menyelidiki secara
tersembunyi saja.
Segera ia mencari suatu gua sepi untuk tidur. Waktu mendusin sang dewi malam sudah menghias di tengah
cakrawala, segera ia menuju ke Bu-sik-am, biara induk di puncak Kian-seng-hong.
Setiba di pinggir pagar tembok, ia melihat di balik sebuah jendela masih ada cahaya lampu, ia mendekatinya
dengan hati-hati, ia menggunakan air ludah untuk membasahi kertas perapat jendela itu, melalui lubang kertas
yang menjadi basah itu dia mengintip ke dalam. Kiranya di dalam adalah sebuah kamar yang sunyi, rupanya
kamar mendiang Ting-sian Suthay di kala melakukan tirakatan. Di atas meja di dalam kamar itu ternyala
sebuah pelita minyak, tampak jelas di atas meja ada tiga tempat abu, itulah tempat pemujaan bagi arwah
Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay. Melihat keadaan yang sunyi dan hampa di dalam kamar itu, pilu juga
rasa hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara nyaring benturan senjata. Tergerak hati Lenghou Tiong, “Musuh
sudah datang, apakah Siu Siong-lian dan rombongannya sudah mulai bergerak?”
Ia meraba pedang pendek yang terselip di pinggangnya, cepat ia berlari menuju ke arah datangnya suara
benturan senjata.
Kiranya suara itu datang dari sebuah ruangan kira-kira belasan meter di sebelah Bu-sik-am, dari balik jendela
ruangan itu pun tampak sinar lampu yang cukup terang.
Ketika sampai di pinggir ruangan itu, terdengar suara benturan senjata tambah nyaring dan kerap. Waktu
Lenghou Tiong mengintip pula, seketika ia merasa lega. Rupanya Gi-ho dan Gi-lim berdua sedang berlatih ilmu
pedang, Gi-jing dan The Oh berdua tampak berdiri di pinggir mengikuti latihan itu.
Yang dilatih Gi-ho dan Gi-lim itu adalah ajaran Lenghou Tiong tempo hari, yaitu Hing-san-kiam-hoat yang
ditemukan di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu. Tampaknya permainan kedua orang itu sudah rada
matang. Pedang Gi-ho diputar semakin cepat, suatu kali ketika Gi-lim rada lena, tahu-tahu ujung pedang Gi-ho
sudah menusuk sampai di depan dadanya, untuk menangkis terang tidak keburu lagi, Gi-lim menjerit lesu.
“Kembali kau kalah lagi, Sumoay,” kata Gi-ho sambil mengacungkan ujung pedang di depan dada Gi-lim.
Gi-lim menunduk malu, jawabnya, “Siaumoay sudah berlatih sekian lamanya, tapi masih tiada kemajuan.”
“Sudah lebih maju daripada latihan yang lalu,” kata Gi-ho. “Marilah kita coba-coba lagi.”
Akan tetapi tiba-tiba Gi-jing menyela, “Siausumoay mungkin sudah lelah, silakan pergi tidur saja bersama Thesumoay,
besok boleh berlatih pula.”
Gi-lim mengiakan sambil menyimpan kembali pedangnya, lalu memberi hormat kepada Gi-jing dan Gi-ho,
kemudian bersama The Oh keluar dari ruangan latihan itu.
Waktu Gi-lim membalik tubuh, Lenghou Tiong dapat melihat wajahnya yang kurus dan pucat, ia pikir,
“Siausumoay ini selalu berhati murung saja.”
Kemudian tampak Gi-ho merapatkan pintu ruangan latihan itu dan saling geleng-geleng kepala dengan Gi-jing.
Sesudah suara tindakan Gi-lim dan The Oh terdengar menjauh barulah Gi-ho berkata, “Kulihat hati Siausumoay
selalu tak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi orang beribadat
seperti kita ini. Entah cara bagaimana kita harus menasihatkan dia.”
“Memang sukar untuk menasihatkan dia,” kata Gi-jing. “Paling penting kalau ada kesadaran diri sendiri.”
“Aku tahu apa sebabnya hati Siausumoay tak bisa tenang, yang senantiasa terkenang olehnya adalah....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Di tempat suci ini hendaklah Suci jangan bicara hal-hal demikian,” kata Gi-jing sebelum ucapan Gi-ho lebih
lanjut. “Sebenarnya tiada halangannya membiarkan Siausumoay insaf sendiri bilamana kita tidak buru-buru
ingin menuntut balas sakit hati Suhu.”
“Dahulu Suhu sering mengatakan bahwa segala apa di dunia ini sudah suratan takdir, harus mengikuti menurut
apa adanya, sedikit pun tak boleh dipaksakan. Kulihat Siausumoay adalah orang yang berperasaan, sebenarnya
dia tidak cocok memasuki dunia agama seperti kita ini.”
Gi-jing menghela napas, jawabnya, “Aku pun pernah memikirkan soal ini. Cuma saja Hing-san-pay pada
akhirnya harus ada seorang dari kalangan agama kita sendiri untuk memegang jabatan ketua. Lenghou-suheng
sudah berulang-ulang menyatakan bahwa dia hanya sementara saja menjabat ciangbunjin kita. Tapi yang
terpenting adalah keparat Gak Put-kun itu telah mencelakai Suhu dan Susiok....”
Mendengar sampai di sini, tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, ia heran mengapa Gi-jing secara tegas
mengatakan Gak Put-kun yang mencelakai guru mereka?
Terdengar Gi-jing menyambung kata-katanya tadi, “Kalau sakit hati mahabesar ini tidak lekas kita balas, kita
sebagai anak murid beliau-beliau itu tentu tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”
“Tidak cuma kau saja yang tidak sabar, mungkin aku lebih gelisah daripada kau tentang pembalasan sakit hati
guru kita,” kata Gi-ho. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan pergiat latihannya.”
“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” kata Gi-jing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Siausumoay
rada mundur.”
Gi-ho mengiakan. Lalu kedua orang membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita, kemudian kembali
ke kamar masing-masing untuk tidur. Rupanya Gi-jing meski terhitung sumoay, tapi pintar dan bisa berpikir,
maka setiap urusan penting Gi-ho suka mengajaknya berunding.
Di tempatnya mengintai, Lenghou Tiong menjadi heran mengapa mereka menuduh Gak Put-kun mencelakai
guru dan paman gurunya, dan mengapa pula demi untuk menuntut balas, demi untuk menerima penyerahan
jabatan ketua Hing-san-pay, maka siausumoay mereka mesti disuruh giat berlatih ilmu pedang?
Ia coba merenungkan hal itu, tapi tidak juga paham. Perlahan-lahan ia meninggalkan tempat itu sambil berpikir
cara bagaimana besok harus minta keterangan kepada Gi-lim akan persoalan aneh itu.
Mendadak terkilas suatu pikiran dalam benaknya, hampir-hampir ia berteriak, katanya di dalam hati, “Ah, aku
seharusnya memikirkan hal ini sejak dulu-dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya hal
ini tak pernah kupikirkan?”
Ia menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, ia berdiri mepet dinding agar bayangannya tidak
kepergok orang, habis itu barulah ia memikirkan pula hal itu dengan cermat. Ia coba mengenangkan kembali
keadaan kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay di Siau-lim-si dahulu itu. Menurut penglihatannya waktu itu,
tiada sesuatu luka yang ditemukan di tubuh kedua suthay tua itu, pula tidak terluka dalam atau mati
keracunan, jadi kematiannya sungguh sangat aneh.
Kemudian setelah meninggalkan Siau-lim-si, di dalam gua waktu berteduh dari hujan salju pernah Ing-ing
memberitahukan padanya bahwa ketika di Siau-lim-si dia telah membuka baju kedua suthay itu untuk
memeriksa lukanya, dilihatnya pada ulu hatinya ada satu titik merah bekas tusukan jarum, terang itulah luka
yang mengakibatkan kematian kedua suthay, hanya saja tusukan pada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada
menceng sedikit, makanya seketika Ting-sian belum putus napasnya waktu itu.
Menurut perkiraan, kalau jarum itu ditusukkan ke dalam ulu hati, maka serangan itu terang dilakukan secara
berhadapan, jadi orang yang mencelakai kedua suthay itu jelas adalah tokoh kelas wahid.
Teringat hal itu, tanpa terasa kedua tangan Lenghou Tiong menahan dinding dengan badan rada gemetar,
pikirnya, “Tatkala mana Tonghong Put-pay sudah mati, orang yang mampu membinasakan kedua Suthay
dengan sebatang jarum kecil hanya orang yang telah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiamhoat.
Sedangkan Pi-sia-kiam-hoat yang diyakinkan Co Leng-tan itu adalah palsu, tidak sempurna, selain itu
hanya guruku dan Lim Peng-ci saja berdua. Sedangkan waktu itu Lim Peng-ci baru saja memperoleh Pi-siaDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kiam-hoat, belum lagi berhasil meyakinkannya, ini terbukti waktu bertemu dengan Lim Peng-ci sesudah
meninggalkan Siau-lim-si dahulu suara Peng-ci belum lagi banci.”
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa jidatnya berkeringat dingin. Ia tahu tatkala itu yang mampu menggunakan
sebatang jarum kecil dan membinasakan kedua suthay utama Hing-san-pay dari depan tiada orang lain lagi
kecuali Gak Put-kun. Teringat pula cara bagaimana Gak Put-kun berusaha secara berencana agar dapat
menjadi ketua Ngo-gak-pay dan sengaja membiarkan Lo Tek-nau menyelundup ke dalam perguruannya selama
belasan tahun tanpa membuka kepalsuannya, akhirnya sengaja membiarkan Lo Tek-nau membawa lari sejilid
kiam-boh palsu untuk menjebak Co Leng-tan, akibatnya dengan mudah kedua mata Co Leng-tan kena
dibutakan olehnya. Lantaran Ting-sian dan kawan-kawannya berkeras menentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay
menjadi satu, maka Gak Put-kun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya sehingga mengurangi pihak
penentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay yang dirancangnya itu.
Bab 128. Intrik Gak Put-kun Terhadap Hing-san-pay
Lenghou Tiong merenungkan kembali percakapannya dengan Ing-ing di gua itu tentang pengalamannya di
Siau-lim-si, di mana dia telah kena ditendang dengan keras oleh Gak Put-kun, ia tidak terluka, sebaliknya
tulang kaki Gak Put-kun sendiri patah malah. Hal ini sangat mengherankan Ing-ing, katanya ayahnya (Yim
Ngo-heng) juga tidak habis paham atas kejadian itu. Sebab seperti diketahuinya di dalam tubuh Lenghou Tiong
sudah banyak bertambah dengan lwekang yang disedotnya dari beberapa tokoh silat kelas tinggi, namun untuk
bisa menggunakan campuran lwekang itu buat menyerang lawan diperlukan latihan yang cukup, padahal waktu
itu Lenghou Tiong belum mencapai taraf demikian. Kini kalau dipikir, jelas Gak Put-kun sengaja pura-pura,
sengaja diperlihatkan kepada Co Leng-tan agar saingannya itu menilai rendah kepandaiannya dan lengah.
Dan benar juga usaha Co Leng-tan dengan susah payah untuk menggabungkan Ngo-gak-kiam-pay akhirnya
cuma sia-sia saja, orang lain yang menarik keuntungannya.
Setelah memahami apa yang terjadi itu, kemudian ia membatin, “Betapa pun Suhu bermaksud mencelakai aku
tetap takkan kulupakan budi kebaikannya selama mendidik aku 20-an tahun. Dengan sendirinya aku sendiri tak
dapat membunuhnya, namun anak murid Hing-san-pay yang berhasrat menuntut balas juga tak dapat
kurintangi. Hanya saja ilmu silat Suhu sekarang sudah lain daripada dahulu, betapa pun Gi-jing dan lain-lain
berlatih rasanya selama hidup mereka ini juga tak mampu mengalahkan suhuku. Beberapa jurus ilmu pedang
yang kuajarkan kepada mereka itu pun terang bukan tandingan Pi-sia-kiam-hoat.”
Ia pikir Gi-lim sekarang tentu sudah tidur, biarlah aku pergi ke paviliun di seberang sana untuk melihat apakah
rombongan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya sudah datang belum.
Paviliun yang dahulu ditunjuk sebagai tempat penampungan orang-orang Kang-ouw yang ikut Lenghou Tiong
ke Hing-san itu terletak di Thong-goan-kok, suatu lembah di lereng Hing-san dan jauhnya ada belasan li juga.
Dengan berlari-lari enteng Lenghou Tiong terus menuju ke sana, ketika sampai di lembah itu hari pun sudah
terang tanah. Lebih dahulu ia mengaca dirinya di tepi sebuah sungai kecil, memeriksa keadaan pakaian,
sesudah tiada tanda-tanda yang mencurigakan barulah ia menuju paviliun itu.
Ia mengitari pintu depan, baru saja hendak masuk melalui pintu samping, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut
di dalam.
Dahulu orang-orang Kang-ouw campuran itu ditampung oleh Lenghou Tiong di situ, setiap hari Lenghou Tiong
mengobrol, main judi dan minum arak bersama mereka, meski tengah malam juga selalu ramai suasana di
situ. Kemudian Yim Ngo-heng memberi perintah agar orang-orang itu pergi dari situ, maka sepilah keadaan
lembah itu.
Kini mendengar kembali suara ramai itu, Lenghou Tiong tidak menjadi senang, sebaliknya malah khawatir. Dari
apa yang didengarnya dari percakapan Thio-hujin dan kawan-kawannya itu, jelas mereka bermaksud buruk
terhadap Hing-san-pay, kalau mereka tidak mau disuruh pergi secara halus terpaksa harus main kekerasan,
dan dari kawan tentu akan menjadi lawan. Bila Lenghou Tiong harus mencelakai bekas teman-teman itu,
rasanya serbasusah.
Dalam pada itu terdengar orang banyak sedang berteriak-teriak di dalam rumah, “Sungguh aneh! Keparat!
Perbuatan siapa ini?”
“Ya, bangsat benar! Kapan dilakukannya hal ini? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Eh, mereka ini kan bukan jago lemah, mengapa kena diselomoti orang tanpa menjengek sedikit pun?”
Dari suara ribut-ribut itu Lenghou Tiong dapat menduga di situ tentu terjadi sesuatu yang luar biasa. Segera ia
menyelinap masuk, dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sana penuh berdiri orang, semuanya
menengadah, memandang ke pucuk pohon yang amat tinggi di tengah halaman itu.
Waktu Lenghou Tiong juga mendongak ke atas, seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pucuk pohon yang
tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang, yaitu Siu Siong-lian dan Thio-hujin bertujuh ditambah
lagi seorang yang berpakaian perlente dan dikenalnya sebagai Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Hiat-to kedelapan orang
ini tertutuk, kaki dan tangan ditelikung ke belakang dan diikat, lalu digantungkan di atas pohon sehingga
kontal-kantil ke sana kemari.
Bahkan tertampak pula ada dua ekor ular sepanjang dua meteran sedang merambat di atas badan kedelapan
orang itu. Terang itulah “hewan” piaraan Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua.
Tidaklah menjadi soal bila ular-ular itu merambati badan Giam Sam-seng yang menjadi majikannya, tapi ketika
ular-ular itu menggerayangi badan Siu Siong-lian dan lain-lain, mereka menjadi ketakutan dan jijik pula,
celakanya mereka tak bisa bicara dan berkutik.
Tiba-tiba seorang meloncat ke atas, yaitu Keh Bu-si, dengan sebilah belati ia memotong tali yang menggantung
Tong-pek-siang-ki. Kontan kedua orang itu anjlok ke bawah, syukur seorang yang pendek gemuk lantas
menangkap tubuh mereka. Penyelamat ini adalah Lo Thau-cu. Dalam sekejap saja Keh Bu-si sudah berhasil
menolong kedelapan orang itu ke bawah dan membuka hiat-to mereka yang tertutuk.
Begitu bebas, kontan Siu Siong-lian mencaci maki dari kakek moyang tujuh belas keturunan dan kata-kata
yang paling kotor. Tapi mendadak kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu, ada yang kaget,
ada yang tertawa, ada yang geli.
Waktu Coh Jian-jiu memeriksa mereka, kiranya di dahi mereka masing-masing tertulis satu huruf. Coh Jian-jiu
coba menerapkan huruf-huruf itu, hasilnya adalah dua kalimat yang artinya, “Muslihat keji sudah ketahuan,
awas jiwa anjing kalian.”
Sebagai orang licin dan berpengalaman, Yu Siok dan lain-lain sudah paham apa artinya kalimat-kalimat itu.
Hanya Say-po Hwesio yang kasar itu terus mencaci maki, “Muslihat keji ketahuan apa? Memangnya mengawasi
jiwa anjing siapa?”
Lekas Giok-leng Tojin mencegah ucapan kawannya itu lebih lanjut, lalu menghapus huruf di jidat sendiri
dengan air ludah.
Lenghou Tiong tidak habis heran menyaksikan itu, pikirnya, “Kiranya secara diam-diam sudah ada orang kosen
yang telah membongkar muslihat mereka. Alangkah baiknya jika sekiranya aku tidak perlu turun tangan
sendiri.”
Terdengar Coh Jian-jiu lagi bertanya, “Yu-heng, entah cara bagaimana kalian berdelapan kena diselomoti
orang, dapatkah kau menceritakan?”
Yu Siok tersenyum, jawabnya, “Sungguh memalukan bila dikatakan. Semalam Cayhe tidur dengan sangat
nyenyak, entah mengapa tahu-tahu hiat-to sudah tertutuk orang dan tergantung tinggi di atas pohon ini,
bangsat yang menyelomoti kami itu besar kemungkinan memakai obat bius dan sebagainya, kalau tidak, diriku
yang tidak becus sih lumrah, tapi tokoh-tokoh yang serbacerdas tangkas sebagai Giok-leng Tojin, Thio-hujin,
dan lain-lain ini masakah juga kena diselomoti orang?”
Thio-hujin hanya mendengus saja. Ia tidak suka banyak bicara, segera ditinggal ke dalam untuk mencuci muka
dan disusul oleh Giok-leng Tojin dan kawan-kawannya.
Begitulah orang banyak itu masih ramai membicarakan kejadian aneh itu, mereka anggap penuturan Yu Siok
tadi tidak lengkap dan tidak sejujurnya. Sebab kalau benar dibius, mustahil berpuluh orang yang tidur di
ruangan itu hanya beberapa orang tertentu saja yang kena pengaruh obat bius dan yang lain tidak. Selain itu
mereka pun tidak paham apa arti kalimat “muslihat keji sudah ketahuan”, entah muslihat keji apa yang
dimaksudkan. Macam-macam pendapat dan dugaan timbul di antara orang banyak itu.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendengar itu, hati Lenghou Tiong sangat terhibur. Ia pikir kalau orang-orang itu ikut dalam komplotan Siu
Siong-lian itu tentunya mereka mengetahui muslihat keji apa yang akan dikerjakan. Tampaknya orang yang
ditugaskan Gak Put-kun ke sini hanya sebagian kecil di antara mereka. Hanya entah siapakah orang kosen
yang telah menggantung kedelapan orang di pucuk pohon itu?
Dalam pada itu terdengar seorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Untung sekali hari ini Tho-kok-lakkoay
tidak berada di sini, kalau mereka di sini tentu urusan akan tambah ramai.”
“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka gila-gilaan, bukan mustahil apa yang
terjadi ini adalah perbuatan mereka,” kata seorang lagi.
“Tidak, pasti bukan perbuatan mereka,” ujar Coh Jian-jiu.
“Bagaimana Coh-heng mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.
“Meski ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, namun isi perut mereka sangat terbatas,” kata Coh Jian-jiu.
“Jangankan mereka tidak mampu menulis kalimat-kalimat itu, untuk menulis dua huruf ‘muslihat keji’ saja
kutanggung mereka tidak bisa.”
Semua orang sama mengakak dan menyatakan ucapan Coh Jian-jiu itu memang tidak salah. Mereka terus
mengobrol tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tiada seorang pun yang memerhatikan babu tua dungu
samaran Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala
menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik orang-orang itu.
Dari para kesatria yang tinggal di situ hampir seluruhnya dikenal oleh Lenghou Tiong, orang yang dasarnya
pendiam memang sukar untuk diketahui isi hatinya, tapi bagi orang yang pembawaannya kasar dan suka
omong, bila sekarang mendadak berubah menjadi pendiam atau sengaja main sembunyi-sembunyi, maka
orang itu perlu dicurigai.
Begitulah ia coba mengingat-ingat gerak-gerik setiap orang itu. Ia pikir kalau orang-orang yang ikut serta
dalam muslihat keji itu cuma sebagian kecil, maka sebagian besar lainnya akan cukup kuat untuk
mengatasinya bilamana terjadi serangan mendadak sehingga anak murid Hing-san-pay tidak perlu
dikhawatirkan keselamatannya. Malahan yang pasti akan menjadi korban mungkin adalah sebagian temanteman
yang berada di paviliun ini. Tapi dengan kejadian digantungnya kedelapan orang di pucuk pohon adalah
suatu peringatan yang baik bagi semua orang agar waspada menghadapi segala kemungkinan.
Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar perang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Lekas kemari,
coba lihat apa lagi itu?”
Serentak orang banyak itu berlari-lari keluar. Lenghou Tiong juga ikut dari belakang, dilihatnya beberapa li di
sebelah sana ada beberapa puluh orang sedang mengerumuni sesuatu. Waktu Lenghou Tiong sampai di sana,
dilihatnya orang banyak sedang ramai memperbincangkan kejadian itu. Kiranya ada belasan orang berduduk
tak bergerak di kaki gunung situ, jelas hiat-to mereka tertutuk semua. Pada dinding batu-batu padas
tertampak beberapa tulisan yang artinya kembali seperti apa yang tertulis di jidat Siu Siong-lian berdelapan.
Tulisan itu dicoret dengan air tanah liat, tampaknya belum kering, tentunya belum lama ditulis.
Para kesatria menjadi ragu-ragu apakah mesti membuka hiat-to orang-orang itu atau tidak. Segera ada orang
menggeser belasan orang itu untuk mengenali siapa-siapa mereka itu. Ternyata di antara mereka yang tertutuk
tak berkutik itu termasuk Boh-pak-siang-him, kedua beruang dari utara yang doyan makan daging manusia.
Selain itu ada lagi dua orang gembong Mo-kau, mereka adalah Pau Tay-coh dan Bok-tianglo.
Lenghou Tiong rada terkejut melihat mereka, kalau kedua gembong Mo-kau itu belum mati, maka Hek-bokleng
yang diperoleh Gak Put-kun itu terang bukan berasal dari Pau Tay-coh dan Bok-tianglo berdua.
Keh Bu-si tampak tampil ke muka dan mengurut beberapa kali di punggung Boh-pak-siang-him untuk
membuka ah-hiat (hiat-to yang bikin bisu) mereka, tapi hiat-to lain tidak dijamahnya dan tetap membiarkan
mereka tak bisa bergerak. Lalu Keh Bu-si bertanya, “Ada sesuatu yang membingungkan, maka Cayhe ingin
minta keterangan kepada kalian. Coba terangkan, sesungguhnya kalian berdua telah ikut serta dalam muslihat
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
rahasia apa, hal inilah yang ingin diketahui oleh para kawan kita.”
“Benar, benar! Muslihat apa yang kalian kerjakan, coba jelaskan!” seru orang banyak secara serentak.
“Muslihat kakek moyangnya tujuh belas turunan, muslihat maknya anak kura-kura!” kontan si Oh-him, Si
Beruang Hitam, mencaci maki.
“Habis kalian ditutuk oleh siapa-siapa? Tentu boleh kau jelaskan urusan?” tanya Coh Jian-jiu pula.
“Kalau aku tahu sih mendingan,” sahut Pek-him, Si Beruang Putih. “Tadi kami sedang jalan-jalan di sini, tahutahu
punggung ditutuk orang, lalu tak bisa berkutik. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi
dari depan, main sergap, hm, macam kesatria apa? Bangsat!”
“Jika kalian tidak mau bicara terus terang, ya sudahlah,” kata Coh Jian-jiu. “Cuma urusan ini sudah terbongkar,
kukira akan gagal dikerjakan. Bagi kita semua hendaklah berlaku waspada saja.”
“Coh-heng,” seorang berseru, “mereka tidak mau mengaku terus terang, biarkan mereka tinggal di sini saja,
biarkan lapar tiga-hari tiga-malam supaya tahu rasa.”
“Benar,” seorang lagi menanggapi. “Jika kau membebaskan mereka, jangan-jangan orang kosen itu akan
marah padamu dan kau sendiri yang akan digantung di atas pohon, kan bisa runyam.”
“Memang tidak salah,” kata Keh Bu-si. “Eh, Saudara-saudara, bukan Cayhe tidak mau menolong kalian,
soalnya Cayhe sendiri juga merasa takut.”
Oh-him dan Pek-him saling pandang, lalu sama mencaci maki, cuma yang dimaki tiada keruan juntrungannya,
mereka tidak berani memaki Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya secara terang-terangan, sebab kalau sampai
membikin marah pihak lawan tentu mereka sendiri yang bakal celaka berhubung tak bisa berkutik sama sekali.
Begitulah Keh Bu-si lantas tinggal pergi. Sesudah berkerumun sejenak sambil omong ini-itu sebentar, orangorang
lain juga ikut bubar. Di antara orang-orang itu tentu pula ada begundalnya Boh-pak-siang-him, hanya
saja mereka tidak berani memberi pertolongan dalam keadaan demikian bilamana mereka tidak mau ketahuan
siapa diri mereka.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong sudah berjalan kembali ke paviliun tadi. Baru sampai di luar halaman, terdengar
di dalam ada suara orang tertawa geli. Ketika Lenghou Tiong melongok ke dalam, ternyata semua orang
sedang memandang ke atas. Waktu ia ikut mendongak, ternyata di atas pohon kembali bergantungan dua
orang. Waktu diperhatikan, kiranya kedua orang sial itu adalah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio.
Keruan Lenghou Tiong sangat heran. Put-kay adalah ayah Gi-lim Sumoay, Dian Pek-kong juga diakui sebagai
murid Gi-lim. Betapa pun mereka berdua pasti tidak punya niat mencelakai pihak Hing-san-pay. Sebaliknya
kalau Hing-san-pay ada kesulitan tentu mereka akan membantu malah. Tapi mengapa mereka pun digantung
orang di atas pohon, hal ini benar-benar membikin Lenghou Tiong tidak habis paham. Gambaran yang telah
digagas Lenghou Tiong semula kini menjadi buyar sama sekali setelah melihat Put-kay dan Dian Pek-kong juga
mengalami nasib yang sama seperti Siu Siong-lian berdelapan. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam
benaknya, “Put-kay Taysu bersifat lucu dan lugu, biasanya tiada sengketa apa-apa pada lain orang, mengapa
dia pun digantung orang di atas pohon? Tentu ada orang sengaja main gila padanya. Untuk menangkap Putkay
rasanya tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja. Besar kemungkinan adalah Tho-kok-lak-sian.”
Tapi lantas terpikir pula dari apa yang dikatakan Coh Jian-jiu tadi, memang tidak salah bahwa Tho-kok-lak-sian
tidak mampu menulis kalimat-kalimat sebagus itu.
Begitulah dengan penuh tanda tanya ia melangkah ke dalam halaman. Di tengah suara tertawa riuh orang
banyak, dilihatnya di atas tubuh Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong terjulur seutas pita kuning yang bertulisan.
Tertampak pita di atas tubuh Put-kay itu tertulis: “Manusia yang paling doyan perempuan, laki-laki berhati
palsu nomor satu di dunia ini.”
Kemudian dilihatnya pita di atas tubuh Dian Pek-kong bertuliskan: “Manusia yang tidak becus bekerja, orang
yang paling sembrono nomor satu di dunia ini.”
Pikiran pertama yang timbul dalam benak Lenghou Tiong sesudah membaca tulisan kedua pita itu adalah,
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Cara pasang kedua pita itu keliru tempat. Mestinya kedua pita itu harus tukar tempat antara Put-kay Hwesio
dan Dian Pek-kong. Mana bisa Put-kay Hwesio dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Orang yang
paling doyan perempuan harus dialamatkan kepada Dian Pek-kong. Sedangkan sebutan ‘orang paling
sembrono’ masih boleh juga diberikan kepada Put-kay. Dia tidak pantang membunuh, tidak pantang makan
dan minum, segala apa pun dia gegares. Sesudah menjadi hwesio juga berani cari nikoh sebagai istri,
perbuatannya memang sembrono. Cuma sebutan ‘tidak becus bekerja’ rasanya rada janggal dan entah apa
maksudnya?”
Kalau melihat kedua pita itu masing-masing terikat di leher kedua orang itu agaknya bukan dipasang dalam
keadaan tergesa-gesa, maka tidak keliru tempat tentunya.
Para kesatria menjadi gempar pula menyaksikan keadaan Put-kay berdua itu, banyak di antaranya juga merasa
heran melihat tulisan kedua pita. Mereka berpendapat bahwa manusia yang paling doyan perempuan di dunia
ini selain Dian Pek-kong rasanya tiada orang lain lagi, mengapa hwesio gede ini bisa melebihi Dian Pek-kong?
Keh Bu-si dan Coh Jian-jiu berunding sejenak dengan suara perlahan, mereka pun merasa kejadian itu radarada
luar biasa. Mereka pun tahu Put-kay Hwesio adalah teman baik Lenghou Tiong, mereka pikir Put-kay
harus ditolong turun lebih dulu.
Segera Keh Bu-si melompat ke atas pohon, ia mengiris putus tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan
Siu Siong-lian dan Boh-pak-siang-him yang terus mencaci maki, ternyata Put-kay dan Dian Pek-kong bungkam
saja dengan lesu.
“Mengapa Taysu juga tertimpa nasib malang ini?” dengan suara perlahan Keh Bu-si bertanya.
Put-kay tidak menjawab melainkan cuma geleng-geleng kepala saja. Ia coba melepaskan pita di lehernya itu,
dipandangnya sekian lama tulisan di atas pita itu, kemudian mendadak ia menangis keras sambil membantingbanting
kaki.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Seketika suara orang banyak menjadi lenyap dan sama
memandangi Put-kay dengan melongo heran. Put-kay masih terus menangis sambil memukul-mukul dada
sendiri, makin menangis makin berduka.
“Thaysuhu, janganlah kau menyesal,” Dian Pek-kong coba membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan, kita
harus menemukan keparat itu dan mencincang dia....”
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tangan Put-pay menampar ke belakang, “plok”, kontan Dian Pekkong
terpental beberapa meter jauhnya dan hampir-hampir roboh terjungkal, tapi sebelah pipinya seketika
merah bengep.
“Bajingan!” Put-kay memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai ganjaran atas dosa kita, kau... kau berani
sekali, masakah kau hendak membunuh orang.”
Karena tidak tahu seluk-beluknya, tapi dari ucapan thaysuhunya itu Dian Pek-kong dapat menduga orang yang
menggantung mereka di atas pohon itu tentulah orang tokoh luar biasa sehingga thaysuhu itu sendiri merasa
segan padanya. Terpaksa Dian Pek-kong hanya menunduk dan berulang mengiakan.
Untuk sejenak Put-kay termenung di tempatnya, habis itu kembali ia menangis lagi sambil menghantam dada
sendiri. Kemudian mendadak tangannya menggampar lagi ke belakang, kembali Dian Pek-kong hendak dihajar.
Untung gerak tubuh Dian Pek-kong sangat cepat, ia keburu menghindarkan gamparan itu, teriaknya,
“Thaysuhu!”
Sekali menggampar tidak kena, Put-kay juga tidak mengudak lagi, tapi tangannya terus diputar balik, “plak”,
dengan keras menghantam di atas sebuah meja batu di tengah halaman itu. Kontan batu kerikil bercipratan.
Kedua telapak tangan Put-kay segera menghantam pula secara bergantian disertai jerit tangis, makin
menghantam makin keras, dalam sekejap saja meja batu yang keras itu telah hancur menjadi beberapa potong
kecil.
Melihat betapa dahsyat tenaga pukulannya, semua orang sama terkejut, tiada seorang pun yang berani
mencuit, sebab khawatir bila Put-kay lantas mengamuk padanya, sekali kepala kena dihantam tentu akan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
hancur luluh. Memangnya kepala siapa yang bisa lebih keras daripada meja batu itu.
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan Keh Bu-si hanya saling pandang dengan bingung.
Melihat gelagat kurang baik itu, segera Dian Pek-kong berkata, “Harap kalian jaga thaysuhuku, aku akan pergi
mengundang Suhu.”
Mendengar itu, Lenghou Tiong pikir jangan sampai dirinya dicurigai Gi-lim bilamana siausumoay itu nanti
datang. Ia sudah pernah menyamar sebagai perwira tentara, sudah pernah menyaru sebagai petani, tapi
semuanya kaum lelaki, sekarang dia menyaru sebagai babu tua, seorang perempuan, rasanya sangat kikuk dan
canggung, ia sendiri pun tidak yakin akan penyamarannya itu dan khawatir rahasianya terbongkar.
Segera ia sembunyi dulu di dalam kamar penimbun kayu bakar di belakang. Ia pikir Boh-pak-siang-him dan
lain-lain masih mematung di sana, dapat diduga Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya ada niat pergi
mendengarkan percakapan mereka malam nanti. Maka sesudah kenyang tidur sebentar aku pun coba-coba
mendengarkan ke sana.
Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat mengantuk karena semalam tidak pernah tidur, sambil layap-layap
terpulas ia dengar suara tangis Put-kay Hwesio yang aneh dan lucu itu.
Waktu bangun hari sudah gelap, ia mencari sedikit makanan di dapur, ternyata tiada seorang pun yang
pedulikan dia. Setelah menunggu lagi agak lama, ketika suasana sudah sunyi, lalu ia memutar ke belakang
gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat ditutuknya Boh-pak-siang-him dan komplotannya itu. Sesudah
dekat, ia berjongkok di seberang sebuah kali kecil, di situlah ia pasang telinga mendengarkan.
Tidak lama kemudian lantas terdengar suara pernapasan orang banyak di sebelah depan sana, sedikitnya ada
belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli bahwa bukan cuma Keh Busi
dan kawan-kawannya saja yang timbul pikiran buat mencuri dengar percakapan Boh-pak-siang-him, bahkan
orang lain juga punya pikiran demikian, nyata orang cerdik di dunia ini tidaklah sedikit. Diam-diam Lenghou
Tiong juga mengakui kecerdikan Keh Bu-si, dia hanya membuka hiat-to bisu kedua orang pemakan daging
manusia itu, tapi sengaja tidak membuka hiat-to Pau Tay-coh dan lain-lain, kalau tidak tentu Pau Tay-coh yang
pintar itu akan melarang Boh-pak-siang-him bicara bila mereka membuka mulut.
Benar juga, terdengar Pek-him sedang marah-marah dan memaki, “Nenek moyangnya, begini banyak
nyamuknya, bisa-bisa darahku akan terisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas
keturunan nenek moyangmu!”
“Aneh,” Oh-him menanggapi dengan tertawa, “nyamuk kok cuma menggigit kau dan tidak menggigit diriku,
entah apa sebabnya.”
“Sebabnya karena darahmu berbau, nyamuk tidak doyan darahmu,” sahut Pek-him mendongkol.
“Ya, aku lebih suka darahku berbau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Oh-him.
Kembali Pek-him mencaci maki kalang kabut.
Diam-diam Lenghou Tiong membayangkan bagaimana rasanya orang digigit beratus-ratus, bahkan beribu-ribu
nyamuk sekaligus, tapi badan tak bisa berkutik, memang rasanya tidak dapat dikatakan enak.
Sesudah puas mengumpat ke kanan dan ke kiri, kemudian Pek-him berkata, “Bila aku dapat bergerak dengan
bebas lagi, orang pertama yang akan kucari untuk bikin perhitungan adalah Keh Bu-si si bangsat itu, akan
kututuk juga hiat-tonya, lalu kugigit pahanya, akan kumakan daging pahanya itu sedikit demi sedikit.”
“Kalau aku lebih suka makan daging para nikoh cilik itu, kulitnya halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat
dan gurih,” ujar Oh-him.
“Tapi Gak-siansing telah menyatakan para nikoh itu tidak boleh dimakan, harus ditangkap ke Hoa-san,” kata
Pek-him.
“Jumlah nikoh cilik itu ada beratus-ratus, kalau kita makan dua-tiga orang di antaranya masakah bisa
ketahuan?” ujar Oh-him.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Mendadak Pek-him mencaci maki lagi dengan suara keras, “Bangsat! Anak jadah!”
“Kau tidak mau makan nikoh boleh terserah, mengapa memaki orang?” jawab Oh-him dengan gusar.
“Aku tidak memaki kau, aku memaki nyamuk,” sahut Pek-him.
Selagi Lenghou Tiong merasa geli mendengarkan dagelan yang lucu itu, tiba-tiba ada suara keresek-keresek
perlahan di belakangnya, ada orang perlahan-lahan mendekatinya. Pendatang ternyata langsung menuju ke
arahnya, sesudah berada di belakangnya, orang itu pun berjongkok dan perlahan-lahan menarik lengan
bajunya.
Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, “Siapakah dia ini? Jangan-jangan penyamaranku diketahui olehnya?”
Ia coba menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tiba-tiba tertampak sebuah wajah yang cantik,
kiranya Gi-lim adanya.
Kembali Lenghou Tiong terkejut dan bergirang pula, ia menduga tentu jejaknya telah diketahui oleh Gi-lim.
Dilihatnya Gi-lim menggerakkan dagunya ke samping, mulutnya yang kecil dimoncongkan untuk memberi
tanda ke arah sana, lalu lengan baju Lenghou Tiong ditarik-tarik lagi sebagai tanda ingin bicara dengan dia ke
tempat yang agak jauhan di sebelah sana.
Lenghou Tiong rada bingung, tapi dilihatnya Gi-lim sudah mendahului berjalan ke sana, terpaksa ia pun
mengikut di belakangnya.
Bab 129. Rahasia Put-kay Hwesio yang Aneh
Begitulah Lenghou Tiong mengikuti ajakan Gi-lim. Keduanya terus berjalan ke jurusan sana tanpa buka
suara sedikit pun.
Setelah menyusuri sebuah jalanan sempit, akhirnya mereka keluar dari lembah itu, tiba-tiba terdengar
Gi-lim berkata, “Kau sendiri tidak dapat mendengar pembicaraan orang, buat apa kau berada di sana?”
Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepadanya melainkan cuma menggumam sendiri saja.
Namun Lenghou Tiong merasa tercengang, katanya di dalam hati, “Apa artinya dia bilang aku tidak dapat
mendengar percakapan orang? Dia bicara dibalik atau benar-benar tak mengenali penyamaranku?” Tapi
mengingat Gi-lim biasanya tidak pernah bergurau padanya, besar kemungkinan memang belum tahu
samarannya itu.
Gi-lim terus berjalan menikung ke utara, setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka sampai di
tepi sebuah sungai kecil.
Dengan suara perlahan Gi-lim berkata pula, “Biasanya kita suka bicara di sini, apakah kau sudah bosan
pada kata-kataku?” Menyusul ia lantas tertawa, katanya, “Selamanya kau tak bisa mendengar ucapanku,
tentu aku takkan bicara padamu.”
Melihat nada Gi-lim yang sungguh-sungguh itu, yakinlah Lenghou Tiong bahwa dirinya memang disangka
benar-benar sebagai si nenek tua penunggu Sian-kong-si itu. Tiba-tiba timbul pikirannya yang jail, ia
menjadi ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Gi-lim.
Setiba di bawah pohon, Gi-lim mengajaknya duduk di atas sepotong batu panjang, Lenghou Tiong
sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tertampak jelas.
Gi-lim termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir-hampir
Lenghou Tiong bertanya urusan apakah yang membikin risau hati Gi-lim yang masih muda belia itu?
Syukur dia keburu menahan perasaannya.
Terdengar Gi-lim membuka suara perlahan, “Nenek bisu, engkau sangat baik, aku sering mengajak kau
ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu, selamanya kau tidak merasa jemu, selalu menunggu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
uraianku dengan sabar. Sebenarnya tidak pantas aku membikin repot padamu, tapi engkau memang
sangat baik padaku, mirip benar ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu, jika punya, apakah kiranya
aku berani bicara padanya seperti kubicarakan padamu ini?”
Mendengar sumoay cilik itu hendak membeber isi hatinya, Lenghou Tiong merasa tidak pantas
mendengarkan rahasia orang dengan cara menipunya, segera ia berbangkit dan bermaksud melangkah
pergi.
Namun Gi-lim lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?”
Suaranya penuh nada kecewa.
Lenghou Tiong memandang sekejap padanya, tertampak wajahnya yang sayu, sinar matanya penuh rasa
memohon, tanpa kuasa hatinya menjadi lemas, pikirnya, “Air mukanya tampak kurus, isi hatinya bila tak
terbeberkan bisa jadi akan mengakibatkan jatuh sakit. Biarkan kudengarkan apa yang akan diceritakan,
asalkan dia tetap tak mengenali samaranku tentu dia takkan malu.” Karena itu perlahan-lahan ia duduk
kembali.
“Nenek bisu, engkau baik sekali,” kata Gi-lim perlahan sambil merangkul pundaknya, “hendaklah kau
menemani aku duduk sebentar di sini, engkau tidak tahu betapa kesalnya hatiku.”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, rupanya sudah suratan takdir bahwa hidupnya ini tidak terlepas
dari “nasib nenek”. Dahulu ia keliru sangka Ing-ing sebagai nenek, sekarang dirinya juga disangka
sebagai nenek oleh Gi-lim. Dahulu ia memanggil entah berapa ratus kali nenek kepada Ing-ing, sekarang
Gi-lim membayarnya dengan panggilan nenek pula. Ini namanya ada ubi ada talas.
Dasar watak Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, urusan apa pun terkadang tak dianggap sesuatu
yang penting olehnya. Padahal Gi-lim sedang bicara padanya dengan penuh perasaan, sebaliknya diamdiam
ia merasa geli dan hampir-hampir bergelak tertawa.
Sudah tentu Gi-lim tidak tahu apa yang dipikirkan si “nenek”, ia berbicara terus, “Pagi tadi ayahku
hampir-hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah
oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula plakat yang menyatakan Ayah sebagai manusia tak
berperasaan nomor satu di dunia ini, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal selama hidup
ayahku hanya memikirkan ibuku seorang saja, entah apa dasarnya tuduhan pada ayahku bahwa dia
paling doyan perempuan. Tentu orang menempel plakat itu secara ngawur telah salah tempel plakat
yang mestinya ditempel pada badan Ayah. Padahal seumpama salah tempel, robeklah plakat itu dan
buang saja habis perkara, kan tidak perlu gantung diri segala.”
Lenghou Tiong terkejut dan merasa geli pula. Ia heran mengapa Put-kay Taysu hendak bunuh diri? Gi-lim
mengatakan ayahnya hampir mati gantung diri, jadi Put-kay pasti masih hidup.
Lalu Gi-lim menyambung pula, “Ketika Dian Pek-kong berlari-lari ke Kian-seng-hong untuk mencari
diriku, kebetulan dia kepergok oleh Gi-ho Suci, Dian Pek-kong dianggap melanggar peraturan berani
sembarangan datang ke Kian-seng-hong, tanpa banyak bicara Gi-ho Suci terus lolos pedang dan
menyerangnya, hampir-hampir saja jiwa Dian Pek-kong melayang, sungguh berbahaya sekali.”
Lenghou Tiong masih ingat perintahnya yang melarang kaum lelaki yang tinggal di paviliun di puncak
seberang naik ke Kian-seng-hong tanpa izinnya, apalagi nama Dian Pek-kong terkenal busuk, sedangkan
Gi-ho terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu kepergok terus main senjata. Cuma ilmu silat
Dian Pek-kong jauh lebih tinggi daripada anak murid Hing-san, jelas Gi-ho tidak mampu membunuhnya.
Selagi ia hendak mengangguk tanda membenarkan ucapan Gi-lim tadi, syukur ia lantas menyadari akan
penyamarannya. Pikirnya, “Tak peduli apa yang dia katakan, apakah benar atau tidak, sama sekali aku
tidak boleh menggeleng atau mengangguk sebab si nenek bisu-tuli pasti takkan mendengar apa pun
yang dia ucapkan.”
Begitulah Gi-lim lantas menyambung lagi, “Ketika Dian Pek-kong sempat menerangkan maksud
kedatangannya, sementara itu Gi-ho Suci sudah menyerangnya belasan kali, untung tidak terjadi cedera
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
apa-apa. Begitu menerima berita segera aku pun memburu ke lembah sini, tapi Ayah sudah tidak
kelihatan. Waktu kutanya orang di sini, katanya Ayah sedang menangis dan mengamuk pula di
kamarnya, siapa pun tidak berani bicara dengan dia, habis itu Ayah lantas menghilang entah ke mana.
“Aku mencarinya di sekitar lembah ini, akhirnya kutemukan dia di belakang gunung sana, kulihat beliau
tergantung tinggi-tinggi di atas pohon. Aku menjadi khawatir, cepat aku melompat ke atas pohon, kulihat
seutas tali menjerat di lehernya, agaknya napasnya sudah hampir putus, syukur berkat Buddha dapatlah
aku datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan sadarlah beliau, kami lantas saling rangkul dan
menangis.
“Kulihat di leher Ayah masih tetap tergantung secarik kain yang tertulis: ‘Manusia tak berperasaan nomor
satu di dunia ini’ segala. Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat, berulang dia menggantung
engkau. Salah tempel kain tertulis ini juga tidak dibetulkan.’
“Sambil menangis Ayah berkata, ‘Bukan digantung orang, tapi aku sendiri yang menggantung diri. Aku...
aku tidak ingin hidup lagi,’ Aku menghiburnya, ‘Ayah, tentunya engkau diserang mendadak oleh orang
itu, karena kurang waspada engkau kecundang, tapi juga tidak perlu sedih. Biarlah kita mencari dia
untuk tanya dia, kalau tak bisa memberi alasan yang tepat, kita juga pegang dia dan gantung dia, lalu
kain juga kita gantung pada lehernya.’
“Tapi Ayah menjawab, ‘Plakat ini ditujukan padaku, mana boleh digantung pada orang lain. Manusia tak
berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan memang betul adalah diriku,
Put-kay Hwesio, mana ada orang lain yang melebihi aku? Anak kecil, jangan sembarang omong kalau
tidak tahu.’
“Coba, Nenek bisu, bukankah aneh sekali ucapan Ayah itu? Maka aku lantas tanya beliau, ‘Ayah, kau
bilang kain plakat ini tidak keliru pasang?’ – ‘Sudah tentu tidak,’ jawab Ayah. ‘Aku... aku berdosa
terhadap ibumu, maka aku ingin segera mati saja, kau jangan urus diriku, aku benar-benar tidak ingin
hidup lagi.’.”
Lenghou Tiong masih ingat cerita Put-kay Hwesio, katanya dia mencintai ibunya Gi-lim, tapi lantaran si
dia adalah seorang nikoh, maka Put-kay lantas meninggalkan rumah menjadi hwesio. Menurut jalan
pikiran Put-kay, hanya hwesio yang layak beristrikan nikoh.
Padahal peristiwa demikian benar-benar aneh dan ajaib tiada taranya. Perjodohan yang janggal ini
akhirnya tentu terjadi perubahan, katanya kemudian Put-kay merasa berdosa kepada ibunya Gi-lim, bisa
jadi karena kemudian dia yang punya kekasih lain, maka dia mengaku sebagai “manusia tak
berperasaan, orang paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Lenghou Tiong merasa sudah rada
jelas duduknya perkara tentang diri Put-kay.
Didengarnya Gi-lim sedang bertutur pula, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku ikutikutan
menangis. Sebaliknya Ayah lantas menghibur aku malah, katanya, ‘Anak manis, jangan menangis,
jangan menangis! Kalau Ayah mati nanti, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang
akan menjaga dirimu?’
“Kata-katanya itu membikin tangisku semakin keras. Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak
jadi mati saja. Cuma, rasanya menjadi tidak enak terhadap mendiang ibumu?’ Aku coba bertanya,
‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’
“Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana sudah kau ketahui, tadinya ibumu
adalah nikoh, sekali melihat ibumu aku lantas tergila-gila, betapa pun aku harus memperistrikan dia.
Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi nikoh, khawatir dicerca oleh sang Buddha.’
“Kukatakan aku yang akan tanggung akibatnya, kalau sang Buddha marah biarlah aku yang dikutuk.
Ibumu menjawab bahwa orang partikelir seperti diriku adalah pantas kawin dan punya anak, tapi ibumu
sudah menyucikan diri, bila punya pikiran menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.
“Kupikir ucapannya cukup beralasan juga, tapi aku sudah bertekad akan mengawini ibumu, untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menghindarkan derita ibumu bila dihukum masuk neraka kelak, biarlah aku menjadi hwesio, kalau mau
marah biarlah sang Buddha marah padaku, seumpama masuk neraka juga kami suami-istri akan masuk
bersama.”
Baru sekarang Lenghou Tiong mengerti sebabnya Put-kay Hwesio, kiranya dia ingin memikul beban bakal
istrinya. Jika demikian mengapa kemudian dia menyeleweng lagi? Demikian timbul pertanyaan lagi dalam
hatinya.
Terdengar Gi-lim melanjutkan, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menikahi Ibu tidak?’ – ‘Sudah
tentu menikah, kalau tidak dari mana kau dilahirkan?’ sahut Ayah. ‘Cuma memang salahku, pada waktu
kau berumur tiga bulan, aku memondongmu berjemur sinar matahari di depan pintu....’ – ‘Berjemur
sinar matahari apa salahnya?’ tanyaku. – ‘Ya, soalnya juga kebetulan saja,’ tutur ayahku. ‘Waktu itu ada
seorang perempuan muda jelita lewat di depan rumah kita dengan menunggang kuda, ketika lihat
seorang hwesio besar macamku membopong orok, ia memandang heran kepada kita sambil memuji,
‘Mungil benar orok ini!’ Sudah tentu yang dipuji adalah dirimu. Aku jadi senang dan menjawab, ‘Ini
adalah anakku sendiri.’
“Alis perempuan muda itu melototi aku sambil bertanya, ‘Kutanya dengan baik, kenapa berulang kau
menggoda aku, apakah kau sudah bosan hidup?’ Aku menjawab, ‘Menggoda bagaimana, memangnya
hwesio bukan manusia, makanya tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya akan kubuktikan
padamu.’ Tak terduga perempuan itu tambah marah, segera ia lolos pedang terus melompat turun dan
menyerang diriku, bukankah perbuatannya itu keterlaluan?”
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, ia pikir Put-kay tidak pantang bicara apa saja yang ingin dia
ucapkan, tapi bagi pendengaran orang lain kata-katanya itu dirasakan sebagai kata-kata kurang ajar.
Seorang hwesio memondong anak bayi memang sudah janggal. Kalau kawin dan punya anak, kenapa
tidak piara rambut saja?
Dalam pada itu Gi-lim masih terus bercerita, “Kukatakan pada Ayah, ‘Ya, nyonya cantik itu memang rada
galak. Sudah jelas aku adalah anakmu, ini kan tidak bohong, kenapa dia lolos senjata menyerang
padamu?’ Jawab Ayah, ‘Maka cepat aku berkelit menghindarkan serangannya, kataku, ‘He, kenapa kau
menyerang orang tanpa sebab? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku
ini membikin perempuan itu tambah murka, berulang ia menusuk. Dari ilmu pedangnya kulihat dia orang
dari Hoa-san-pay.’.”
Lenghou Tiong terperanjat, ia merasa heran mengapa orang perempuan yang dikatakan itu adalah orang
Hoa-san-pay?
Gi-lim meneruskan pula, “Bahwasanya perempuan itu orang Hoa-san-pay, maka lantas timbul
perkiraanku tentulah Nona Gak, itu siausumoay Lenghou-toako, Nona Gak itu memang punya perangai
berangasan. Akan tetapi segera aku tahu dugaanku keliru, sebab usia Nona Gak sebaya dengan diriku.
Waktu itu aku baru berumur tiga bulan, tentunya Nona Gak juga masih bayi.”
“Ayah berkata pula, ‘Setelah serangannya tak bisa mengenai diriku, dia menyerang lebih gencar. Sudah
tentu aku tidak gentar padanya, aku cuma khawatir dia melukaimu. Ketika dia menusuk untuk kedelapan
kalinya, mendadak kutendang dia hingga terjungkal.’
‘Dia merangkak bangun terus mencaci maki hwesio jahat yang tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka
goda perempuan! Pada saat itulah ibumu pulang dari cuci pakaian di tepi sungai, dia mendengar caci
maki itu. Setelah memaki, perempuan itu terus pergi dengan naik kudanya. Ketika aku ajak bicara
ibumu, dia ternyata tidak menjawab, melainkan terus menangis. Kutanya dia apa sebabnya menangis,
dia tidak menggubris padaku.’
‘Besok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja tertinggal secarik kertas yang bertuliskan kalimat:
‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku membawamu dan mencari ibumu ke segenap
penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’
“Aku bilang, ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu dan menyangka engkau benar-benar
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
telah menggoda perempuan itu.’ Ayah menjawab, ‘Ya, bukankah tuduhan yang tak berdasar? Tapi
kemudian setelah kupikir-pikir lagi rasanya tuduhan itu pun ada dasarnya, sebab pada waktu kulihat
perempuan itu, lantas timbul pikiranku bahwa perempuan itu cantik, coba pikir, kalau aku sudah punya
istri seperti ibumu dalam hatiku sebaliknya memuji kecantikan wanita lain, bahkan mulutku sampai
mengucap demikian tidakkah ini bukti aku memang tak berperasaan, suka kepada setiap perempuan?’”
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa ibu Gi-lim ternyata sangat cemburuan, sudah tentu di dalam
peristiwa ini telah terjadi salah paham, mestinya kalau dia mau tanya persoalannya lebih dulu segala
urusan akan menjadi jelas.
Terdengar Gi-lim berkata pula, “Aku lantas tanya Ayah, ‘Kemudian engkau menemukan Ibu tidak?’ Ayah
menjawab, ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tak bisa menemukannya. Kupikir ibumu adalah
nikoh, tentu dia masuk kembali ke biara, maka setiap biara selalu kudatangi. Ketika kutemui gurumu,
Ting-yat Suthay, beliau sangat tertarik akan kemungilanmu, tatkala itu kau sedang sakit lagi, maka
beliau lantas minta aku menitipkan dirimu di biaranya agar kau tidak ikut menderita kubawa kiankemari.’.”
Menyinggung Ting-yat Suthay, kembali Gi-lim merasa sedih dan mencucurkan air mata, katanya, “Sejak
kecil aku ditinggalkan Ibu, berkat Suhu yang telah membesarkan aku, akan tetapi sekarang Suhu
meninggal pula dicelakai orang, orang yang mencelakainya adalah guru Lenghou-toako, bukankah hal ini
membikin aku menjadi serbasusah? Seperti diriku, sejak kecil Lenghou-toako juga sudah tidak punya ibu,
ia pun dibesarkan oleh gurunya. Cuma dia lebih menderita daripada diriku, selain tak punya ibu, bahkan
ayah juga tidak punya. Dengan sendirinya dia sangat menghormati gurunya, kalau aku membalas
dendam Suhu dengan membunuh guru Lenghou-toako itu, entah akan betapa sedihnya Lenghou-toako.
Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di biara Suhu, kemudian Ayah mencari pula setiap biara di
dunia ini, sampai-sampai tempat-tempat terpencil di daerah Mongol, Tibet, dan lain-lain juga telah
didatangi, namun tetap tak memperoleh sedikit pun kabar Ibu.
“Maka dapat ditarik kesimpulan bisa jadi ibuku sudah membunuh diri lantaran menyesal pada kelakuan
Ayah. O, Nenek bisu, tentunya ibuku adalah wanita yang berjiwa sangat keras, dia telah berkorban bagi
Ayah dengan menanggung noda karena mau dikawin oleh Ayah, tapi baru melahirkan aku, lantas melihat
Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai orang yang rendah dan tak tahu malu, sudah
tentu Ibu tambah marah dan putus asa mempunyai suami begitu, makanya beliau lantas ambil
keputusan pendek dengan membunuh diri.”
Lenghou Tiong baru tahu bahwa di balik kejadian itu kiranya masih ada persoalan-persoalan begitu.
Gi-lim bertutur pula, “Kemudian aku tanya Ayah siapakah perempuan Hoa-san-pay yang bikin celaka
orang lain itu? Ayah menjawab, ‘Perempuan itu cukup terkenal juga, ialah bininya Gak Put-kun, kutahu
hal ini dari pedang yang dia tinggalkan di atas tanah itu, pada pedang itu ada ukiran namanya. Karena
tidak dapat menemukan ibumu, saking gemasnya aku lantas pergi ke Hoa-san untuk mencari Gak-hujin,
maksudku hendak membunuhnya untuk melampiaskan dongkolku. Setiba di Hoa-san, kulihat dia sedang
memondong bayi perempuan yang kelihatan sangat mungil, aku menjadi teringat pada dirimu, sehingga
tidak tega turun tangan, maka kuampuni dia.’ Ketahuilah Nenek bisu, bayi perempuan itu adalah Nona
Gak, sumoay cilik Lenghou-toako. Mengingat Lenghou-toako sedemikian menyukai siausumoaynya,
sudah tentu dia adalah bayi yang sangat menarik.”
Teringat kepada Gak-hujin dan Gak Leng-sian yang kini telah berbaring untuk selamanya di lembah
pegunungan sunyi itu, hati Lenghou Tiong menjadi berduka.
Terdengar Gi-lim bicara lagi, “Setelah Ayah menjelaskan, barulah aku tahu mengapa Ayah begitu sedih
melihat plakat yang bertuliskan: ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling
doyan perempuan’. Kutanya Ayah, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu sering kau
perlihatkan kepada orang lain? Kalau tidak mengapa ada orang lain yang mengetahui tulisan itu?’
“Ayah berkata, ‘Sudah tentu tidak, aku pun tidak bercerita kepada siapa pun. Memang aneh, selama ini
dia hendak menuntut balas padaku, kalau tidak mengapa dia tidak tulis kata-kata lain tapi justru menulis
kata-kata seperti pernah ibumu tulis? Kutahu ibumu hendak menagih jiwa padaku, baiklah, biar aku ikut
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
pergi bersama dia. Memangnya aku sudah mencari dia, kalau bisa bertemu dengan dia di akhirat adalah
kebetulan malah bagiku. Cuma badanku terlalu berat, waktu aku gantung diri, hanya sebentar saja tali
gantungan lantas putus, untuk kedua kalinya aku hendak menggorok leher sendiri, tapi pisau yang
biasanya kubawa itu mendadak hilang. Ai, benar-benar runyam, ingin mati pun tidak mudah.’
“Kemudian aku berkata, ‘Engkau keliru, Ayah, justru sang Buddha memberkati agar tidak membunuh
diri, makanya tali putus sendiri dan pisau hilang mendadak. Kalau tidak, saat ini tentu aku tidak bisa
berhadapan lagi dengan engkau.’ Ayah bilang betul juga ucapanku, besar kemungkinan sang Buddha
ingin menghukumnya lebih lama menderita di dunia fana ini. Lalu aku berkata pula, ‘Semula kukira kain
plakat yang tergantung di leher Dian Pek-kong itu kukira tertukar denganmu, makanya aku sedemikian
marah.’ Ayah menjawab, ‘Mana bisa keliru? Dahulu Dian Pek-kong pernah berlaku kurang ajar padamu,
bukankah itu tepat dengan tulisan plakatnya? Kusuruh dia menjadi perantara agar bocah Lenghou Tiong
itu menikahimu, tapi dia selalu ogah-ogahan dan tak bisa melaksanakan tugasnya, bukankah ini berarti
‘tidak becus bekerja’ seperti tulisan plakat itu? Jadi apa yang tertulis di plakat baginya itu memang
sangat cocok dan tepat.’ Aku berkata, ‘Ayah, aku akan marah bilamana kau suruh Dian Pek-kong
melakukan hal-hal yang tidak layak itu. Hendaknya diketahui, mula-mula Lenghou-toako menyukai
siausumoaynya, kemudian dia suka kepada Yim-toasiocia dari Mo-kau. Meski dia juga sangat baik
padaku, tapi selamanya tidak pernah menaruh perhatian padaku.’.”
Ucapan terakhir ini membikin Lenghou Tiong rada menyesal, memang semula ia tidak merasakan cinta
Gi-lim kepada dirinya, kemudian lambat laun ia pun mengetahui hal itu, namun dirinya memang benarbenar
sebagaimana dikatakan Gi-lim sekarang, mula-mula menyukai Siausumoay, kemudian cintanya
dicurahkan kepada Ing-ing, selama itu berkelana kian-kemari, jarang sekali teringat kepada Gi-lim.
Begitulah terdengar Gi-lim berkata pula, “Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ayah menjadi gusar, dia
mencaci maki Lenghou-toako, katanya, ‘Bocah Lenghou Tiong itu memang buta-melek, ada biji mata tapi
tak bisa melihat, sungguh lebih goblok daripada Dian Pek-kong. Jelek-jelek Dian Pek-kong masih tahu
akan kecantikan putriku, tapi Lenghou Tiong justru tidak mau tahu, benar-benar orang paling goblok di
dunia ini.’
“Masih banyak kata-kata kotor yang dia lontarkan ke Lenghou-toako, sukar bagiku untuk menirukannya.
Dia mengatakan pula, ‘Hm, kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Dia bukan Co Leng-tan,
melainkan Lenghou Tiong! Biar mata Co Leng-tan dibutakan orang, tapi Lenghou Tiong jauh lebih buta
daripada dia.’
“Coba, Nenek bisu, kan tidak betul ucapan Ayah itu, mana boleh dia mencaci maki Lenghou-toako cara
begitu? Aku lantas berkata, ‘Ayah, Nona Gak dan Nona Yim entah berapa ratus kali lebih cantik daripada
anakmu ini, pula Anak sudah meninggalkan rumah, Anak telah pasrahkan diri kepada sang Buddha. Anak
cuma berterima kasih atas budi pertolongannya serta kebaikannya terhadap Suhu, sebab itulah Anak
senantiasa terkenang padanya!’
“Ayah berkata pula, ‘Kalau sudah masuk agama mengapa tidak boleh kawin! Jika semua orang
perempuan di dunia ini memeluk agama dan tidak kawin serta punya anak, kan di dunia ini takkan ada
manusia lagi. Buktinya ibumu adalah nikoh, tidakkah dia kawin dengan hwesio semacam aku serta
melahirkan engkau?’ Aku menjawab, ‘Ayah, jangan lagi kita bicara urusan ini, bagiku akan lebih... lebih
suka tak dilahirkan saja oleh Ibu.’.”
Sampai di sini, suara Gi-lim menjadi rada sesenggukan. Selang sejenak, baru ia menyambung pula, “Lalu
aku menyatakan pada Ayah bila dia menyatakan hal itu kepada Lenghou-toako, maka selamanya aku
takkan bicara lagi dengan Ayah, bahkan tak mau bertemu pula. Bila Dian Pek-kong menyampaikan hal ini
kepada Lenghou-toako, maka akan kuminta Gi-ho dan Gi-jing Suci agar melarang dia datang ke Hingsan.
Ayah kenal watakku yang teguh, melihat tekadku sudah bulat begitu beliau termangu-mangu
sejenak lalu menghela napas dan pergi.
“O, Nenek, kepergian Ayah sekali ini entah bila baru akan datang menjenguk diriku lagi? Entah pula
beliau akan membunuh diri lagi atau tidak? Sungguh aku menjadi khawatir. Syukur kemudian aku dengar
Ayah baik-baik saja. Selesai itu, tiba-tiba kulihat beberapa orang ini menuju ke lembah sini secara
mencurigakan, mereka sembunyi di tengah semak-semak rumput, entah apa yang diperbuat mereka.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Diam-diam aku menguntit ke sini untuk mengintai, tapi malah kutemukan engkau. Nenek bisu, engkau
tak mahir ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang, bila kau kepergok orang kan
sangat berbahaya. Selanjutnya jangan coba-coba lagi main sembunyi di semak rumput begitu.
Memangnya kau kira sedang main sembunyi-sembunyi seperti anak kecil?”
Mendengar sampai di sini, hampir-hampir saja Lenghou Tiong bergelak tertawa. Ia pikir siausumoay ini
benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga masih kanak-kanak saja.
“Akhir-akhir ini Gi-ho dan Gi-jing Suci selalu menyuruh aku giat belajar pedang,” kata Gi-lim pula.
“Menurut cerita Cin Koan Sumoay dia pernah mendengar Gi-ho dan Gi-jing Suci berunding dengan
beberapa suci yang lain, mereka menyatakan Lenghou-toako tentu tak mau menjadi ketua Hing-san-pay
untuk selamanya, sedangkan Gak Put-kun adalah musuh pembunuh guru dan susiok kita, dengan
sendirinya Hing-san-pay kita tidak sudi dilebur ke dalam Ngo-gak-pay, sebab itulah mereka ingin aku
menjadi ciangbunjin. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya cerita Cin Koan Sumoay itu.
Tapi Cin-sumoay berani bersumpah bahwa apa yang diceritakan itu tidak dusta. Katanya, menurut
pertimbangan para suci yang berunding itu, dalam angkatan murid Hing-san-pay yang pakai nama Gi,
diriku paling baik dengan Lenghou-toako, kalau aku yang menjadi ketua, tentu paling cocok dengan
kehendak Lenghou-toako.
“Jadi mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Lenghou-toako. Mereka berharap aku
meyakinkan ilmu pedang dengan baik dan membunuh Gak Put-kun, dengan demikian tentu tiada
seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Hing-san-pay. Dengan penjelasan ini,
barulah aku percaya. Cuma jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biar kulatih
sepuluh tahun lagi juga tak bisa melebihi Gi-ho dan Gi-jing Suci, untuk membunuh Gak Put-kun lebihlebih
tidak mungkin, memangnya pikiranku sedang kusut, terpikir urusan ini hatiku tambah bingung.
Coba, Nenek bisu, apa yang mesti kulakukan sekarang?”

Related Posts:

0 Response to "Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh"

Posting Komentar